Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget HTML #1

Dinikahi Suami Sahabatku #3

Daftar Isi [Tampil]
 
Majarani


#part 3

Masa Lalu Yang Menganggu

Faiza berpikir keras, meski dia mulai mengingat sebuah kisah di masa lalu. Masa di mana dia masih seorang santri dan juga pengajar anak-anak kecil di sebuah tahfidz yang dihuni oleh anak-anak sepertinya, yatim atau piatu bahkan yatim piatu. 

Saat itu, ketika baru saja lulus, datang kabar bahwa ada seorang lelaki yang ingin melakukan ta'aruf dengannya. Dia pun sudah menerima CV dari sang pria juga akan dipertemukan dengan keluarganya. 

"Mereka sudah sangat tertarik dengan kamu, Faiza. Mereka langsung mau menghitbah kamu setelah membaca dan mengetahui tentangmu. Mereka keluarga baik, saleh juga terpandang. Kamu bersedia?" tanya Ustadz Miftah yang sudah seperti ayahnya sendiri, didampingi oleh istrinya yang tersenyum bahagia.

"Faiza belum siap, Ustadz. Faiza ada keinginan untuk mengabdi dulu pada agama, mensyiarkan ajaran kita ke pelosok, sebelum benar-benar menikah karena itu ibadah yang panjang."

"Kamu serius?" tanya Ustadz Miftah heran. "Menikah juga syi'ar, jadi tidak harus dakwah ke pelosok baru dikatakan syi'ar, Nak." 

"Faiza paham, tapi ... Faiza belum siap menikah." 

"Baiklah, mungkin memang belum jodohnya denganmu."

Faiza tersentak, mengingat nama lelaki yang pernah meminangnya itu sama dengan suami dari sahabatnya, yaitu Hafi. Namun, dia hanya mengira kesamaan nama saja, bukan orangnya juga.

"Apa Hasna tahu tentang siapa saja lelaki yang pernah berniat ta'aruf atau bahkan menghitbah kamu?' tanya Hafi dingin.

Faiza menggeleng, padahal lelaki di depan itu tak melihatnya. 

"Apa kamu pernah curhat atau cerita soal-"

"Tidak pernah, Mas. Saya hanya pernah bilang sempat akan dijodohkan oleh Ustadz Miftah, tapi saya belum siap. Saya bahkan tidak menyebutkan nama lelaki tersebut." Faiza mendadak cemas. "Muhammad Hafi Malik?" tanya Faiza lagi.

Pria itu tak menjawab, wajahnya semakin masam meski tetap tampan untuk ukuran cemberutnya seorang jantan. Ia memarkirkan mobil di depan sekolah anak-anaknya, lalu membuka pintu dan tersenyum pada Safia.

"Apa saya harus pindah tempat kost?" tanya Faiza berusaha menatap Hafi yang terus memalingkan muka.

"Itu malah akan membuat curiga Hasna. Sudahlah, usahakan saja untuk tak terlalu memasuki kehidupan rumah tangga kami, karena kamu pernah menolakku," katanya dengan dingin dan kembali ke kursi kemudi.

Faiza membuang napas kasar, mengelus dada dan beristighfar, ia tak pernah menyangka bertemu dengan pria yang pernah berniat menikahinya. Apesnya, dia adalah suami dari sahabatnya sendiri.

Dilematis, tetap tinggal di tempat kost Hasna jadi tak nyaman, pergi pun akan menuai kecurigaan. Namun, Hafi jelas tak menyukai keberadaannya. Pria itu mungkin masih sakit hati, dan itu wajar. 

Kemudahan yang sempat ia syukuri semalam seperti terhempas begitu saja, saat sebuah kisah masa lalu datang lagi. Karena pada akhirnya, apa yang terasa mudah menjadi sangat berat untuk dijalani saat ini.

Langkahnya bergegas menuju ruang kepala sekolah, untuk mengabarkan kehadirannya dan siap untuk mulai bekerja. Melupakan sejenak kisah masa silam yang sesungguhnya pernah ia lupakan, dan mencoba membuka hati untuk yang lain. Namun, di daerah terpencil sana, ia pun tak menemukan jodoh yang dinantinya.

*** 

Hasna baru saja selesai mengajarkan tahsin untuk para ibu di sekitar rumahnya. Dia duduk di teras dengan menatap kosong. Ada sebaris senyum di bibirnya, mengingat bagaimana pertemuan pertama dengan pria yang telah menjadi imamnya selama kurang lebih sepuluh tahun lamanya itu. 

"Assalaamu'alaikum," sapa Hafi dari samping, menatap Hasna yang tengah menerawang jauh.

"Waa'alikumusalaam, lho ... kok pulang lagi?" tanya Hasna menatap suaminya.

Pria itu diam saja, duduk di sisi istrinya dan menatap ke halaman rumah mereka.

"Berapa tahun sih kita menikah?" tanyanya dengan senyuman. 

"Lebih dari sepuluh tahun, hanya lewat dua bulan sepuluh hari," jawab Hasna dengan menjatuhkan kepala ke pundak suaminya. "Dan selama itu, aku tak pernah merasa sempurna untukmu."

Hafi menoleh dan mengecup kepala istrinya dengan lembut.

"Apa aku belum memberikan yang terbaik?" tanya Hafi, "Sampai kamu merasa tidak sempurna." 

Hasna tersenyum dan mengangkat wajahnya, menatap pria yang sangat dia cinta. Bahkan sebelum akhirnya menikah.

"Aku sudah mencintai kamu sejak masih sebagai gadis. Boleh aku tahu sejak kapan kamu mencintai aku?" tanya Hasna menatap bola mata hitam itu.

"Cinta datang karena terbiasa, karena diniatkan, karena lillah. Aku tidak tahu sejak kapan mencintaimu, tapi selama sepuluh tahun bersama ... aku sangat bahagia, Hasna." Tangan Hafi bergerak di kerudung istrinya, menyentuh kepala dan mengelusnya. 

Namun, Hasna malah menampakkan wajah dengan senyuman dan air mata di sana. 

"Meski hidupku tidak lama lagi?" Suaranya bergetar dan air mata akhirnya mengalir. "Astaghfirullah, aku begitu mencintai dunia ini, mencintaimu, mencintai anak-anakku." 

"Usia tidak ada yang tahu, jangan mendahului ketentuan-Nya." Hafi menahan kedua pipi istrinya yang terisak. 

"Aku mencintaimu, Mas. Karena itu ... ingin kamu mendapatkan apapun yang kamu belum dapatkan. Aku merasa sedih, karena selama satu tahun ini ... tidak bisa melayanimu." Hasna terisak. "Aku sudah izinkan kamu menikah lagi, kan? Aku ihlas, Mas. Asal dia harus sayang dengan anak-anak juga. Bukan hanya sayang padamu." 

"Itukah alasan kamu mendatangkan sahabatmu?" tanya Hafi dengan mata yang berkaca-kaca. "Kamu salah, Hasna."

"Aku tahu kamu pernah berniat menikahinya di masa lalu. Aku ingin kalian melanjutkan kisah cinta kalian yang sempat tertunda."

"Jangan ngaco! Aku tidak pernah mencintai wanita mana pun sebelum kuhalalkan."

"Iya kah, Mas? Coba ngomong gitu sambil lihat mata aku," pinta Hasna dengan kegetiran. "Aku tahu persis siapa yang kamu cintai di masa itu. Karena ... mataku selalu tertuju padamu, dan matamu selalu tertuju padanya."

Mata Hafi melebar dan menatap Hasna dengan tak berkedip. Ia tak menyangka kalimat itu akan keluar dari bibir istrinya. Setelah sekian lama menikah, bahkan tak pernah sedikit pun tersinggung masa lalu yang selalu ia simpan dengan rapat. 

"Aku mencintai kamu, Hasna. Karena Allah, karena kau dititipkan oleh-Nya, sebagai ibu dan wanita yang harus aku cintai. Tidakkah kamu merasakan itu, Sayang?" tanya Hafi dengan senyuman yang lembut, mencoba menumbuhkan harapan untuk sang istri yang mulai kehilangan kepercayaan diri.

Isakan itu akhirnya terdengar, Hafi langsung merangkul istrinya dan memeluknya dengan mata yang basah. Menunjukkan bahwa selama ini Hasna salah dengan dugaannya.

"Aku tahu tujuan kamu membawanya ke sini, tapi sayang ... itu tidak akan mengubah cinta aku sama kamu. Sungguh," ujar Hafi dengan memeluk semakin erat. 

Isakan itu kian keras, seolah menunjukkan hati yang tersayat. Atau sebuah ketakutan akan perpisahan yang selalu singgah dalam pikirannya. 

"Maafkan aku, ya, Mas," katanya setelah isakannya mereda. "Biarlah orang-orang berkata aku nekat, mendekatkan suamiku dengan wanita yang lebih cantik daripada aku. Menyuguhkan ikan pada kucing, tapi aku yakin ... kamu akan setia." Hasna menatap dengan penuh keyakinan juga pengharapan akan sebuah jawaban pasti.

Sementara itu, Hafi hanya tersenyum dan mengangguk. 

"Sebenarnya itu gak baik, apalagi seperti tadi. Sampai nyuruh kami semobil. Itu gak baik, Hasna. Jangan ulangi. Bagaimanapun, kami manusia ... kami punya hati, yang kadang diliputi nafsu dan setan-setan akan menggoda para suami untuk mengatakan bahwa wanita lain selain istrinya itu lebih cantik dan lebih menyenangkan. Aku takut khilaf, jadi bantulah aku, jagalah aku, dan aku pasti akan menjaga diriku." Hafi terus meyakinkan istrinya yang semakin hari semakin terpuruk, semakin tak percaya diri, pasca tak bisa lagi melayani sang suami.

Di satu sisi, ia ingin suaminya bahagia dengan mendapatkan wanita lain yang saleha, tapi insting wanitanya masih ketakutan. Cemburu itu sangat menyakitkan. Karena rasa itu sudah dia nikmati selama hari-hari menikah dengan Hafi.

Kenyataan Hafi pernah mencintai wanita lain, membuat Hasna selalu merasa tak percaya diri. Merasa diri hanya seorang pengganti, pelarian dari kegagalan sang rupawan memikat gadis yang menolaknya kala itu.

Sementara ia datang sebagai perempuan yang terang-terangan siap dinikahi oleh Hafi, mengutarakannya langsung pada ayah dari lelaki itu. 

Kini, dia memiliki harapan yang tak jelas. Di satu sisi, ingin tetap dicintai sebagai satu-satunya wanita yang ada di hati sang suami. Namun, dia juga tak tega menyiksa Hafi yang tak pernah lagi dapat memenuhi kewajiban sekaligus haknya secara batin dengannya. 

*** 

Faiza kembali dari sekolah sekitar pukul lima sore. Berjalan kaki dari pemberhentian angkot dan melamun sepanjang jalan. Menunduk, hingga tiba di pintu pagar rumahnya yang merupakan samping rumah Hasna.

"Hey, melamun aja," panggil Hasna dengan riang.

"Eh, udah di situ aja? Kangen ngobrol ya?" balas Faiza dengan mengurai senyum dan masuk ke halaman rumah, sedangkan Hasna sudah duduk di teras.

"Gimana hari pertama kerja? Seru gak?"

"Kamu ini dah kayak nanya ke anak baru masuk sekolah," jawab Faiza sambil menutup pintu dan melepas kerudungnya. Mengurai rambut yang sejak tadi dia sembunyikan, lalu menyalakan kipas angin agar terhilang dari rasa gerah.

"Rambut kamu cantik ya, dari dulu. Aku tuh pengen banget punya rambut secantik kamu." 

"Kamu emang dari dulu pengen apa aja yang aku punya," canda Faiza sambil menutup mulutnya.

"Iya, aku dulu pengen segala yang kamu punya. Hafalan ayat yang baik, cantik, banyak disukai santri sampai ustadz, bahkan ... selalu juara. Kamu punya segalanya saat itu."

"Kamu lupa, ya. Aku gak punya orang tua," balas Faiza dengan senyuman. 

Hasna tersenyum dan duduk di sisi sahabatnya, menatap dinding yang sama. Mengingat masa persahabatan mereka yang penuh suka cita dan selalu menyukai hal yang sama.

"Gak terasa ya usia kita sudah kepala tiga," ujar Faiza lagi. "Rasanya baru kemarin aku pergi dari pondok dan mengajar di pedesaan, di sana gak ada listrik, katanya sekarang udah ada. Alhamdulillah. Terus aku pindah lagi ke desa lainnya, bertemu banyak orang, meski ada yang selalu aku rindukan."

"Siapa?" tanya Hasna menoleh.

"Kamu lah. Aku sedih saat gak bisa menghadiri pernikahan kamu. Tapi aku senang, karena akhirnya kamu bahagia seperti sekarang. Tinggal aku nih, sebagai gadis yang tak muda harus berjuang cari pasangan." Faiza tertawa dan bercanda, mengubur rasa cemas yang sejak pagi hinggap pasca tahu Hafi yang menikah dengan Hasna adalah Hafi yang sama yang pernah meminangnya.

Hasna tertawa dan menutup mulutnya. "Aku berasa muda lagi tahu ketemu kamu."

"Iya, aku aja berasa delapan belas tahun lagi," balas Faiza dengan mengayunkan kakinya.

"Kamu mau gak aku carikan suami? Yang saleh dan seperti suamiku ... mungkin?" Hasna menatap Faiza yang menghentikan tawa. 

"Aku akan menerima siapapun jodoh yang Allah kirim, Na. Aku akan shalat istikharah, seperti dulu. Aku selalu menolak banyak lelaki, karena setiap kujalani memohon petunjuk, tak pernah kutemukan ketenangan atau bahkan petunjuk yang baik tentang pelamarku itu." Faiza menerawang, menatap ke langit-langit kamar.

"Berapa pria yang pernah meminangmu?" tanya Hasna penasaran. 

"Entah, aku tak pernah menghitungnya. Setiap ada kabar dari guru yang menemaniku, Ustadzah Ma'rifah, aku diberikan foto dan CV sang pria sebelum dipertemukan. Dan aku tak pernah ingin menemui mereka." Faiza menunduk. 

"Jangan-jangan kamu salah mengartikan petunjuk," canda Hasna sambil tertawa.

"Mungkin," balas Faiza lagi. 

"Aku ada calon untuk kamu, tapi mungkin dia duda," ujar Hasna dengan memalingkan pandangan, menahan panas di matanya.

"Duda? Gak ada yang bujang aja gitu?" canda Faiza. 

"Iya, dia mungkin akan jadi duda. Tampan, mapan, romantis juga, dan yang penting ... dia pasti mencintai kamu." 

Faiza menoleh dan menatap heran dengan apa yang dikatakan oleh Hasna. Terlebih wajah sahabatnya itu berubah jadi sayu dengan titik bening di ujung matanya.

Bersambung . . .

Post a Comment for "Dinikahi Suami Sahabatku #3"