Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget HTML #1

Ditalak Usai Resepsi #2

Daftar Isi [Tampil]
 
Nomela Rosana


 #BAB 2

Cukup Aku Yang Terluka

"Nduk, cepat katakan ada apa sebenarnya? Kenapa Kamu nangis begini? Apa yang sudah terjadi padamu?" Ibu masih terus mengguncang pundakku.

Kutatap wajah ibu yang nampak cemas, kualihkan pandangan ke bapak yang berada di samping ibu, nampak ketegangan di raut wajahnya. Aku semakin bingung harus menjawab apa kepada mereka. Aku tidak ingin membuat mereka cemas dan sedih. Cukup aku saja yang terluka. Jangan sampai kedua orangtuaku juga ikut terluka.

Aku menyesal kenapa tadi aku berteriak dan menangis kencang hingga terdengar oleh bapak dan ibu, mungkin kerabat lain yang ada di luar kamar yang masih belum pada pulang juga ikut mendengarnya. Seharusnya aku tadi mengontrol emosiku. 

Tenang Riris, tenangkan dirimu. Kamu bisa selesaikan masalah ini pelan-pelan. Tidak boleh gegabah. Banyak hati yang mesti dijaga. Terutama bapak, aku tidak mau bapak kena serangan jantung gara-gara masalah ini. Aku harus bisa mencari alasan kenapa aku menangis dan kenapa mas Reza pergi di malam pengantinnya.

"Nduk, kok malah melamun toh?" Ibu mengagetkanku dari lamunan.

"A-anu Bu, barusan mas Reza nekat memenuhi panggilan bosnya. Ada pekerjaan mendadak yang harus diselesaikan malam ini juga katanya. Aku sudah berusaha mencegahnya untuk menundanya sampai besok tapi Mas Reza nggak mau Bu. Makanya aku kesel trus nangis deh," ucapku dengan suara bergetar.

"Owalah jadi karena itu toh, pantesan tadi ibu liat suamimu itu keluar terburu-buru sampe nggak sempet pamit sama ibu dan bapak." 

Penjelasan ibu semakin membuatku merasa terluka, Mas Reza betul-betul lelaki pengecut. Dia pergi begitu saja tanpa pamit pada kedua orang tuaku. Laki-laki macam apa itu, sikapnya tidak mencerminkan latar belakang pendidikannya. Ternyata pendidikan tinggi dari luar negeri pun tidak menjamin adab dan akhlak seseorang.

"Ya sudah, Nduk, yang sabar, Kamu harus memaklumi pekerjaan suamimu. Dukung suamimu supaya nanti bisa lebih sukses lagi." Bapak menasehatiku, tidak nampak lagi ketegangan di raut wajahnya. Aku akhirnya bisa bernapas lega. 

"Nggeh, Pak," sahutku pelan seraya mengangguk.

"Yo wis, Nduk, sekarang kamu ganti baju, bersihkan make up di wajahmu dan mandi, biar seger. Habis itu istirahat ya!" titah ibu.

Aku hanya mengangguk pelan. Bapak dan ibu bergegas keluar dari kamar pengantin ini dan menutup pintu. Aku terduduk di tepi ranjang. Air mata kembali mengucur deras di pelupuk mata. Aku masih tidak percaya dengan apa yang sudah kualami. Berharap ini hanya mimpi dan segera bangun dari tidurku. Namun sayang ini bukan mimpi. Mungkin akulah pengantin wanita yang paling merana di dunia ini. 

Ku edarkan pandangan di sekelliling kamar pengantin ini, semua yang nampak indah itu berubah menjadi luka yang menyayat-nyayat hatiku. Ingin rasanya aku rusak hiasan bunga-bunga di kamar ini. Ingin kuganti seprai di ranjang ini. Ingin ku kubur semua jejak-jejak pengantin di kamar ini. Namun nanti kedua orang tuaku pasti akan curiga. 


Malam ini terpaksa aku tidur di ranjang ini dengan suasananya yang sangat menyesakkan dada. Kucoba memejamkan mata namun sulit sekali untuk bisa tertidur. Aku merasa gelisah, berulang kali aku merubah posisi tidurku ke kanan dan ke kiri. Pikiranku berkecamuk. Apa yang harus aku lakukan selanjutnya? Kini aku sudah menjadi janda. Mas Reza tak mungkin kembali lagi ke rumah ini. Apakah aku bisa terus menutupi masalah ini dari bapak dan ibu?

Oh iya, sebaiknya aku telepon Mas Dimas. Aku harus memberi tahu yang sebenarnya, seperti apa sahabatnya itu telah memperlakukan aku.

Gegas kuambil benda pipih berwarna hitam di atas nakas. Kusapu layar dan segera mencari kontak mas Dimas, kutekan lambang telepon berwarna hijau. Tak lama nada sambung terdengar.

"Halo, Ris ... ada apa nih malam-malam telepon, bukannya ini malam pertamamu bersama Reza, hehe," Mas Dimas berseloroh. 

"Mas Di-mas, a-aku ... telah ditalak oleh mas Reza .... " ucapku lirih dengan suara bergetar.

"Apaaa? Kok bisa? Ini bukan prank kan Ris?" 

Akhirnya tangisku tumpah kembali. Aku tergugu di tepi ranjang dengan tangan kanan masih memegang gawai yang ditempelkan di telinga kananku.

"Ris ... tolong jelaskan semuanya, hentikan dulu nangisnya ya, aku jadi panik nih kalau kamu nangis." 

Setelah puas menumpahkan tangisanku akhirnya kujelaskan kejadian yang baru saja kualami ini. Aku juga sampaikan apa yang kutakutkan jika kedua orang tuaku tahu tentang hal ini.

"Kurang ajarrr si Reza!! Beraninya dia mempermainkan dan melukai sepupuku! Awas, aku akan buat perhitungan dengannya nanti!" geram Mas Dimas dari seberang sana.

"Mas Dimas, aku mau minta tolong. Gimana caranya agar bapak dan ibu jangan sampai tau tentang hal ini. Aku nggak mau bapak terkena serangan jantung Mas."

"Oke, sebaiknya kita berfikir yang tenang dulu. Dan mulai buat rencana." Mas Dimas terus berbicara di telepon dan mencoba menenangkanku. 

Malam ini akhirnya aku dan Mas Dimas bisa membuat rencana agar semua nampak berjalan baik-baik saja di depan kedua orang tuaku.

Aku harus berpura-pura menyusul mas Reza ke rumahnya di Jogja. Dan mas Dimas lah yang akan mengantarku dengan alasan mas Rezalah yang minta bantuan mas Dimas untuk mengantarku ke rumahnya. Dengan begitu kedua orang tuaku tidak akan curiga.

Aku harus punya cukup uang untuk bekal hidupku sementara di Jogja. Oh iya, aku ingat kotak amplop pernikahanku yang tadi diberikan ibu kepadaku. Bahkan aku belum sempat membukanya. Kata ibu, semua amplop dari para tamu itu untuk aku dan Mas Reza sebagai bekal tabungan untuk menjalani hidup baru kami.

Aku beranjak dari ranjang dan mengambil kotak putih yang berisi amplop sumbangan para tamu tadi. Ku letakkan kotak berwarna putih itu di atas ranjang. Ku buka kotak itu dan ternyata kotak itu sudah penuh dengan amplop yang saling berjubel. 

Kubuka satu-satu amplop itu. Harusnya aku membukanya bersama Mas Reza, ah mengingat namanya lagi membuat luka di hatiku kembali ternganga dan terasa perih. Seandainya waktu bisa diputar ulang, aku tidak akan mau menikah dengannya jika akhirnya akan begini.

Setelah semua amplop dan uang dari dalamnya dikumpulkan, aku mulai menghitungnya. Dan semuanya terkumpul kurang lebih dua puluh juta rupiah. Entahlah aku harus senang atau sedih menerima uang ini. Bulir bening kembali membasahi pipiku.

Kulirik kotak perhiasan berisi mas kawin dari Mas Reza yang diletakkan di atas nakas, terngiang kembali di telingaku kata-kata ijab kabul yang keluar dari mulut Mas Reza dengan tegas dan mantab pagi tadi. Ya, dia menikahiku dengan mas kawin lima keping emas batangan yang masing-masing seberat 5gr. Apakah aku masih berhak memiliki Mas Kawin itu? Jika iya pun, rasanya ingin kulempar saja mas kawin itu ke wajahnya.

Di jariku juga masih melingkar cincin berlian yang disematkan Mas Reza saat acara lamaran, ingin rasanya kulepas cincin ini. Memakainya terus membuat hatiku terasa perih. Nanti saja kulepaskan jika aku sudah di Jogja.


Besok aku akan ke Jogja dan memulai hidup baru di sana. Aku menunggu waktu yang tepat, untuk menceritakan semuanya kepada Ibu dan Bapak. Tentunya tetap harus dengan hati-hati agar bapak dan ibu tidak kaget dan merasa sedih.

***

Selepas sholat subuh aku ke dapur untuk membantu ibu menyiapkan sarapan pagi. Ya, walaupun aku anak tunggal tapi aku bukan anak yang manja. Sejak kecil aku sudah terbiasa ikut ibu memasak di dapur. Sehingga keahlianku memasak sudah terasah, bahkan Bapak tidak bisa membedakan masakanku dengan masakan ibu. Aku bisa menyerap semua ilmu memasak yang ibu ajarkan.

"Nduk, suamimu kapan pulang?" tanya ibu saat aku memasuki dapur.

"Oh, eh ... anu Bu, semalam Mas Reza telepon Riris, katanya Riris disuruh menyusul Mas Reza ke Jogja. Mas Reza sudah minta tolong Mas Dimas untuk mengantarku ke Jogja Bu," jawabku dengan hati-hati. Maafkan aku bu, terpaksa harus membohongi ibu.

"Loh, kok gitu ... kenapa nggak suamimu yang jemput Kamu Ris? Kan sekalian pamit sama bapak ibu."

"Iya Bu, maunya Mas Reza seperti itu. Tapi Mas Reza masih belum bisa meninggalkan pekerjaannya di Jogja Bu, sedangkan tiket bulan madu kami ke Bali sudah terlanjur di beli untuk penerbangan nanti malam. Mas Reza minta maaf sama Bapak dan Ibu karena tidak bisa pamit secara langsung." 

Duh, lagi-lagi aku harus berbohong agar ibu tidak curiga. 

"Oh gitu to. Ya sudah ndak papa. Nanti Kamu sampaikan ke bapak saat sarapan ya."

"Nggih Bu." Aku bernapas lega. Ibu dengan mudahnya mempercayai kata-kataku. Sekali lagi putrimu minta maaf bu karena terpaksa melakukan ini semua.

Kamipun melanjutkan aktivitas di dapur. Rupanya masih ada sisa masakan dan lauk sehabis pesta kemarin. Jadi pagi ini kami hanya menghangatkannya saja.

Tidak menunggu waktu lama, hidangan untuk sarapan pagi sudah tertata di meja makan. Saat kami memulai untuk sarapan, tiba-tiba Mas Dimas datang. 

"Ayo Le, sini ikut sarapan dulu," ajak ibu kepada Mas Dimas.

"Siap Bulek, kebetulan saya memang belum sarapan, hehe .... " Dengan sigap Mas Dimas ikut duduk di meja makan bersama kami. 

Mas Dimas sudah biasa kalau ke rumah tidak pernah sungkan dan malu karena sejak kecil memang dia sering sekali main ke rumahku.

"Tumben pagi-pagi sudah ke sini, Mas?" tanya bapak heran. 

"Iya Pak Lek, saya dapet tugas dari Reza untuk anter Riris ke Jogja," jawab Mas Dimas dengan suara pelan.

Bapak nampak terkejut, lalu menoleh padaku.

"Iya Pak, Mas Reza minta maaf sama Bapak dan Ibu, karena pekerjaannya yang masih belum bisa ditinggal, jadi nggak bisa jemput Riris," jawabku dengan hati-hati.

"Iya Pak'e, Reza udah beli tiket ke Bali untuk penerbangan nanti malam, dia nggak keburu kalau harus jemput Riris." Ibu ikut menimpali.

"Oh begitu," sahut bapak di iringi helaan napas panjang beliau. 

Sepertinya bapak agak kecewa karena bukan Mas Reza yang menjemputku. Baru seperti ini saja bapak sudah nampak kecewa, gimana kalau beliau mendengar berita Mas Reza mentalakku usai resepsi, membayangkannya saja aku sudah ngeri.

"Dimas, hati-hati nanti di jalan. Kabarin pak lek kalau kalian nanti sudah sampai Jogja."

"Siap Pak lek," jawab Mas Dimas singkat. Dia nampak sedikit kikuk dan tegang di hadapan bapak dan ibu. Mungkin ada rasa bersalah di hatinya, karena sahabatnya yang sudah dipercaya itu telah mempermainkan pernikahan sepupunya ini. 

Selesai sarapan, aku dan Mas Dimas langsung pamit ke Jogja. Kusalami dan kucium punggung tangan bapak dan ibu dengan takzim, kutahan embun di netraku agar tidak jatuh. Aku harus kuat di hadapan bapak dan ibu. 

Bapak, ibu ... doakan anakmu agar bisa menata hidupnya yang baru di Jogja nanti, bisikku dalam hati.

Dengan berjalan pelan kulalui halaman rumah yang masih berdiri megah tenda resepi kemarin. Melihat tenda dan kursi-kursi yang belum di angkat, juga hiasan bunga-bunga di pelaminan yang belum dibongkar, membuat hatiku menangis pilu. Membayangkan resepsiku kemarin yang hanya menyisakan kebahagiaan beberapa jam saja, setelahnya meninggalkan luka yang menganga di hatiku.

Duh, jadi ikut prihatin dengan nasib yang menimpa Riris.

Post a Comment for "Ditalak Usai Resepsi #2"