Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget HTML #1

Ditalak Usai Resepsi #3

Daftar Isi [Tampil]
 
Nomela Rosana

 #BAB 3

Ditalak Usai Resepsi

Usai kutalak Riris, bergegas aku keluar dari rumahnya. Kulewati saja orang-orang yang masih berada di ruang keluarga, aku tidak berani menatap wajah-wajah mereka. 

Aku tidak mau ada kericuhan di rumah ini, sebaiknya secepatnya aku pergi dari sini. Maaf bapak dan ibu mertua, aku tidak berani pamit pada kalian. Aku tidak mau terjadi keributan di rumah ini.

Gegas kulajukan mobilku menuju rumahku di Jogja. Ayah, bunda dan rombongan keluarga yang sejak sore tadi sudah pamit pulang mungkin sekarang sudah tiba di rumah.

Aku tidak tahu bagaimana respon kedua orang tuaku jika mendengar aku sudah mentalak Riris. Mungkinkah mereka akan marah besar? Apalagi alasanku mentalaknya terkesan sungguh tidak masuk akal.

Mungkin bagi orang-orang ini memang tidak masuk akal. Tapi bukankah pernikahan ini aku yg akan menjalaninya? Aku seorang Magister Ekonomi lulusan dari luar negeri. Baru saja diterima bekerja di salah satu perusahaan bonafit di kota Jogja. Walaupun jabatanku hanya sebagai asisten CEO, tapi gajiku lumayan besar, jika kinerjaku bagus dan loyal pada bosku, aku akan menjadi tangan kanan pekercayaannya. Jadi sudah sepantasnya aku memiliki istri yang jauh lebih cantik, lebih anggun dan berkarisma.

Aku tidak menyangka teman-teman Riris ternyata banyak yang lebih cantik dan anggun darinya. Membandingkan mereka di pesta resepsi tadi siang sungguh aku merasa kecewa sekali. 

Wajah Riris kalah jauh dari mereka. Hidungnya tidak begitu mbangir, kulitnya juga sawo matang, pipinya yang agak temben dengan mata yang yang agak sipit itu walaupun sudah di rias ala make up pengantin tapi masih kalah cantik dari teman-teman pondoknya itu. Ah sialan si Dimas, kenapa waktu itu cuma kasih satu referensi saja. Coba dia juga kasih referensi lebih banyak lagi kan aku jadi bisa milih.

Apa yang telah kulakukan tadi itu sudah tepat, lebih cepat lebih baik. Daripada aku terus-menerus menyesal berkepanjangan. Aku bahkan masih menjaga kesucian dan kehormatannya. 

Tak terasa mobilku sudah masuk ke halaman rumah orang tuaku. Di garasi sudah terparkir mobil orang tuaku, berarti mereka memang sudah sampai rumah. 

Kutarik napas panjang dan kuhembuskan perlahan. Huuff ... aku harus bisa menghadapi keluargaku. Semoga ayah dan bunda bisa memahami dan menerima keputusanku ini.

"Assalaamu'alaikum .... " Kucoba buka pintu ternyata belum dikunci. Langsung saja aku melangkah masuk. Ruang tamu sepi, mungkin ayah dan bunda sedang istrirahat di kamarnya.

Ya sudahlah sebaiknya aku juga langsung masuk kamarku untuk istirahat dan menenangkan pikiran. Baru mau masuk kamarku tiba-tiba bunda memanggil dari arah dapur.

"Rezaa ... ! Kok kamu ada di sini? Mana Riris?" pekik bunda dengan wajah kaget seperti habis melihat hantu saja. Kuhentikan langkahku dan berjalan mendekati bunda. 

"Bun, duduk dulu yuk. Reza mau jelasin sesuatu," pintaku sambil menggamit tangan bunda dan mengajak bunda duduk di kursi yang mengitari meja bundar yang ada di ruang makan.

"Ayah di mana Bun?" tanyaku setelah bunda kududukkan di kursi.

"Ayah tadi lagi istirahat di kamar."

"Ya sudah Bun, biarlah ayah istirahat dulu. Reza nggak mau ganggu istrirahat ayah."

"Bun, sebelumnya Reza mau minta maaf yang sebesar-besarnya kepada Bunda ...." Aku berkata pelan, aku harus hati-hati menyampaikan ini. 

"Dari tadi siang saat resepsi, aku sudah memikirkan hal ini baik-baik Bun."

"Ada apa Le? Kamu jangan bikin bundamu ini takut, ini pasti ada yang nggak beres," cecar bunda dengan dahi berkerut.

"Bun, dengerin dulu penjelasan dari Reza ya. Tadi saat resepsi Reza melihat tamu undangan, teman-teman Riris itu jauh lebih cantik-cantik dari Riris Bun, masak pengantin kalah cantik dari tamunya, kan njomplang Bun jadinya. Reza merasa seharusnya istri Reza bisa lebih cantik dari Riris Bun. Istriku kan yang akan terus selamanya mendampingiku Bun. Jadi harus yang selalu membuat Reza bangga berada di sampingnya. Makanya, sebelum kami melangkah lebih jauh lagi, Reza putuskan untuk mentalak Riris seusai resepsi tadi, Reza pun masih menjaga kesucian Riris agar dia bisa mempersembahkan kepada suami barunya nanti."

"Apaaa?? Bunda nggak salah denger kan ini?" Bunda terpekik kaget, sampe netranya melotot seakan mau keluar dari kelopaknya. Aku menggeleng mantab.

"Ya Allah Reza ... apa yang sudah Kamu lakukan ini sungguh di luar batas. Kamu sangat gegabah mengambil keputusan ini. Kenapa nggak tanya dulu sama Bunda? Kamu apa nggak mikirin gimana perasaan Riris dan kedua orang tuanya?" Bunda terus mencecarku.

"Ada apa ini kok ribut-ribut? Reza ... kok kamu sudah ada di rumah ini? Bukankah ini malam pertamamu? Mana istrimu?" Tiba-tiba ayah sudah berada di ruang makan.

"Ini Yah, anakmu ini sudah bikin ulah. Kepala bunda jadi pusing ini mikirin ulahnya!"

Ayah beringsut ikut duduk di kursi yang ada di samping bunda. Nampak ketegangan di raut wajahnya.

"Ayah, Reza minta maaf. Reza sudah mentalak Riris .... " jawabku pelan.

"Apaaaa??" Ayah ternganga mendengar ucapanku.

"Iya Yah, masak Reza nyesel punya Istri Riris yang katanya wajahnya pas-pasan dan kalah cantik sama teman Riris yang tadi datang ke acara resepsi." Bunda menimpali.

"Jadi cuma gara-gara itu Kamu mentalak istrimu?" bentak ayah dengan netranya yang melotot. Ayah menghela napas kasar.

Aku hanya bisa menunduk dan terdiam. 

"Hehh, dari dulu Kamu memang keras kepala, suka bertindak sesuka hatimu saja tanpa pikir panjang," ucap ayah dengan suara bariton yang terdengar bergetar.

"Nasi sudah menjadi bubur Yah, yang bunda sesalkan, kita ini sudah banyak keluar uang loh untuk pernikahan ini. Belum lagi cincin tunangan yang melingkar di jari Riris. Itu adalah cincin yang diwariskan turun temurun untuk istri dari keturunan Hadi Wijoyo, eyangnya Ayah. Lah sekarang Riris kan sudah bukan lagi istrinya Reza, jadi gimana ini?" 

Aku menghela napas panjang, di saat seperti ini yang bunda pikirkan malah materi yang udah dikeluarkan. Itu tidak sebanding dengan kebahagiaanku bun, jeritku dalam hati.

"Reza, bagaimanapun caranya, kamu harus mengambil lagi cincin itu! Sama itu mahar keping emas murninya, kalau bisa juga diminta kembali. Toh kalian kan memang belum berkumpul sebagai suami istri. Kalau nggak salah maharnya bisa diminta lagi." pinta bunda dengan nada keras.

Haduh, gimana ini. Masak aku harus minta lagi semuanya ke Riris, aku sudah melukai perasaannya. Rasanya aku juga tak punya muka untuk meminta cincin dan mahar itu lagi.

"Ya sudah Bun, besok aja lagi kita pikirkan tentang masalah ini. Ayah berharap keluarga besan kita tidak marah dengan perlakuan Reza kepada putrinya. Sebaiknya sekarang kita istirahat saja dulu, ini sudah larut malam," perintah ayah.

Akhirnya kami masuk ke kamar kami masing-masing. Kurebahkan tubuhku di atas kasurku yang empuk. Kulipat kedua tanganku di bawah leher. Kupandangi langit-langit kamar, huff rasanya lelah sekali badan ini. Baru mulai terpejam mataku, gawaiku berdering nyaring. Gegas kuambil gawaiku. Tertera nama Dimas di layar benda pipih itu.

Hadeh, Dimas lagi yang telepon, jangan-jangan dia sudah tahu tentang hal ini dari Riris. Dia pasti akan marah besar padaku. Capek sekali rasamya. Tadi aku sudah menghadapi kedua orang tuaku. Kini harus menghadapi Dimas. Hufft, aku sudah terlalu lelah, nanti-nanti sajalah aku terima teleponnya. Saat ini aku hanya ingin tidur dengan tenang. 

Kuletakkan gawai di atas ranjang. Kubiarkan saja gawai itu terus berdering sampai yang menelepon di seberang sana merasa bosan.

Ish gemes, pingin tak jitak si Reza.

Bersambung . . .

Post a Comment for "Ditalak Usai Resepsi #3 "