Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget HTML #1

Kubalas Perlakuan Suamiku #3

Daftar Isi [Tampil]
 
AnnisaDarma

 #BAB 3

Mulai Berani

"Kau kesurupan! Ini bukan dirimu, Rasty ... segeralah beristighfar!" seru Mama dengan kalut. 

"Ya, ini bukan diriku! Aku yang dulu telah mati terbunuh oleh derita yang kau hadirkan dalam hidupku!" Aku membalasnya dengan teriakan nyaring. 

"Istighfar, Rasty!"

Aku terkekeh geli melihat raut wajah mertuaku yang sedang ketakutan. Padahal baru satu vas bunga yang kulemparkan, tapi dia sudah terlihat begitu ciut. 

"Kau suruh aku mengucap istighfar, tapi kau menyakitiku berkali-kali. Kau bahkan tidak mengingat Tuhan saat memukuliku! Dasar munafik!"

"Ra-rasty ..."

"Cepat pergi dari hadapanku atau aku akan membuatmu terluka!" kuhardik perempuan itu dengan tegas. 

Mama yang semula angkuh dan jumawa langsung berdiri dan menjaga jarak dariku. Perempuan tua itu kemudian menyeret langkah dengan tertatih-tatih keluar dari rumah ini. 


"Aku tidak percaya kau jadi begitu sombong, tapi kupastikan setelah ini kau akan kembali menurut dan patuh," gumam Mama sambil berjalan. Dia tampak takut sekaligus kesal. 

"Simpan saja mimpimu itu rapat-rapat karena aku tidak akan kembali menjadi diriku yang dulu," balasku sinis. 

Ya. Aku telah berjanji pada diri sendiri agar menjadi kuat dalam menghadapi perlakuan keluarga Mas Irwan. Bersikap lemah sama saja dengan menyerahkan diri untuk diinjak-injak.

***

Keesokan paginya setelah Lala berangkat sekolah, aku terkejut melihat sebuah mobil berhenti di depan rumah. Seorang laki-laki yang kuyakini sebagai supir turun dengan tergesa-gesa dan membantu Mas Irwan keluar dari mobil. Ternyata suamiku pulang lebih cepat dari yang kukira. 

Dengan tertatih-tatih dia berjalan menyeret langkah. Sedangkan supir taksi online itu tampak kesusahan memapah suamiku karena badan Mas Irwan lebih besar darinya. 

"Malah bengong aja, bantuin dong!" seru Mas Irwan dengan raut wajah kesal. Aku mengangkat bahu sekilas, enggan mengulurkan tangan pada laki-laki angkuh itu. 

Yang bisa kulakukan hanyalah membuka pintu lebar-lebar agar kedua laki-laki itu bisa masuk. Setelah itu Mas Irwan duduk di sofa ruang tamu dan bersandar dengan lemah di sana. Sedangkan supir taksi online tadi berlari ke mobil dan kembali sambil menenteng tas milik Mas Irwan. 

"Sudah semuanya ya, Mas," ujar laki-laki itu dengan sopan. 

Mas Irwan mengangguk pelan. "Ongkosnya sudah kubayar lewat aplikasi."

"Terima kasih, Mas. Kalau begitu saya pamit," balas laki-laki itu. Aku mengucapkan terima kasih padanya karena sudah membantu suamiku. Laki-laki itu mengangguk, kemudian berlalu pergi. 

"Kok cepat banget pulangnya?" tanyaku dengan dingin. Aku benar-benar penasaran kenapa Mas Irwan pulang secepat ini, pakai taksi online pula. 

"Nggak usah banyak tanya!" jawab Mas Irwan ketus. Wajahnya tampak kesal seolah sedang memendam sebuah perasaan yang sangat berat. 

Aku menutup mulut dan menahan rasa ingin tahu yang bergejolak di dalam dada. Padahal dokter mengatakan bahwa Mas Irwan harus mendapat perawatan intensif, tapi sekarang laki-laki itu sudah pulang ke rumah. Aku hanya bisa menebak-nebak di dalam hati tentang apa yang membuatnya pulang secepat ini. 

"Gara-gara kau tidak mau menungguiku selama dirawat di rumah sakit, terpaksa aku pulang secepat ini!" seru Mas Irwan dengan sebal. 

Aku mengerutkan kening keheranan. "Kenapa malah menyalahkanku? Bukankah sudah kubilang agar menelepon Mama atau adik-adikmu?"

Mas Irwan mendengkus kesal, dia memejamkan mata sambil bersandar. "Mama menungguiku tadi malam, tapi kemudian dia bilang tidak sanggup berlama-lama di rumah sakit. Sedangkan Ayu dan Wina tidak bisa menjagaku, jadi terpaksa aku minta izin pada dokter untuk pulang secepatnya."

"Luar biasa," balasku sambil tercengang. "Ternyata orang-orang yang selama ini kau bangga-banggakan tidak bersedia merawatmu saat sedang sakit begini."

"Tutup mulutmu dan jangan memandang rendah keluargaku!" hardik Mas Irwan dengan dada naik turun. Matanya menatapku marah. 

"Memang begitu kenyataannya, 'kan?" balasku sambil mengulas senyum tipis. "Selama ini kau selalu mengutamakan keluargamu lebih dari apapun. Kau bahkan berbagi penghasilan dengan mereka dan tega membuat anak kandungmu kekurangan. Sekarang saat kau jatuh sakit, mereka sama sekali tidak peduli."

"Siapa bilang mereka tidak peduli?" tanya Mas Irwan membantah ucapanku. "Mereka tidak bisa merawatku karena punya kesibukan masing-masing!"

Aku mendecih kecil mendengar penuturan Mas Irwan. "Tidak ada orang yang benar-benar sibuk, Mas. Semuanya tergantung pada prioritas. Kalau mereka memang menganggapmu sebagai seseorang yang diprioritaskan, maka dalam situasi sesibuk apapun adik-adikmu pasti akan datang dan merawatmu."

"Sudahlah, nggak usah banyak bacot!" seru Mas Irwan kesal. "Sekarang bantu aku pindah ke kamar. Aku mau tiduran!"

"Nggak bisa lagi jalan sendiri?" tanyaku padanya. 

"Kepalaku pusing, rasanya mau tumbang kalau berjalan tidak ada yang bantu," jawab Mas Irwan. 

"Duh kasihan sekali yang sedang kelebihan kolesterol," ujarku setengah miris dan mengejek. "Tapi maaf, Mas. Aku harus segera berangkat kerja, jadi pindah ke kamar sendiri, ya. Dekat kok, cuma beberapa langkah juga sampai."

"Rasty! Berani sekali kau mengabaikanku!" seru Mas Irwan geram. 

"Mau bagaimana lagi, aku bisa telat pergi kerjanya," jawabku santai. 

"Kau lebih mementingkan pekerjaan dibandingkan merawat suamimu sendiri. Durhaka kau, Rasty!"

"Mas mau tahu kenapa aku lebih mementingkan bekerja daripada mengurusmu?" tanyaku sambil mendekati Mas Irwan. 

Laki-laki itu menatapku dengan sorot mata yang memancarkan kemarahan. Tapi sikapnya tidak lagi membuatku takut karena ada sesuatu yang sedang kuperjuangkan. 

"Jika aku bekerja, aku bisa memenuhi kebutuhan Lala. Aku bisa membuat anakku makan dengan lauk enak sehingga dia tidak ngiler melihat postingan ayahnya yang makan di restoran. Sedangkan jika merawatmu, yang kudapatkan hanya rasa lelah yang diiringi dengan caci maki. Benar-benar tidak bermanfaat saka sekali!"

"Kau istriku, Rasty! Kau wajib patuh pada perintahku!" seru Mas Irwan dengan tegas. 

"Kau juga suamiku sekaligus ayah dari Lala. Seharusnya kau berpikir dengan hati jernih dan bertanya kenapa aku lebih mementingkan pekerjaan dibandingkan mengurusmu. Ini semua terjadi karena dirimu yang zalim dan tidak adil!" Aku membalas dengan argumen yang tak kalah tegas. 

"Jangan hanya memintaku untuk patuh tapi kau sendiri mengabaikan kewajibanmu terhadap kami. Kau egois dan tidak punya perasaan!" sambungku lagi. 

Mas Irwan mendesah dengan napas yang terdengar berat dan lelah. Dia memejamkan mata sambil menggigit bibir. Sedangkan aku bergegas keluar dari rumah dan meninggalkan laki-laki itu sendirian. Tidak kupedulikan teriakannya yang memanggil namaku. 

Setelah melewati segala rasa pahit dalam berumah tangga, sekarang aku memiliki sebuah tujuan yang harus kuutamakan. Mas Irwan harus tahu bahwa dirinya tidak lagi layak mendapat baktiku sepenuhnya. Dia harus segera disadarkan dengan sikapnya selama ini sangat keterlaluan.

***

Sorenya aku langsung menuju rumah Bu Marni. Biasanya sepulang sekolah Lala akan bermain di sana bersama Silla. Terlebih lagi semenjak memutuskan untuk bekerja, kuminta pengertian Bu Marni agar mengawasi Lala saat aku tidak ada. Syukurnya beliau menyetujui karena paham bagaimana keadaanku. 

"Lala sudah pulang dijemput sama Tantenya," ujar Bu Marni memberitahuku. 

"Tantenya yang mana, Bu?" tanyaku dengan perasaan berdebar. 

"Si Wina. Dia maksa-maksa Lala pulang padahal lagi asik main sama Silla," jawab Bu Marni. 

"Ya sudah kalau begitu, terima kasih, Bu," ujarku dengan sopan. 

Kemudian kulangkahkan kaki menuju rumah dengan sangat tergesa-gesa. Entah kenapa, perasaanku jadi tidak enak. Setelah sampai di depan rumah, aku masuk tanpa mengucap salam. 

Aroma sangit seperti sesuatu yang gosong memenuhi udara. Dari arah dapur kudengar suara hardikan menggema beriringan dengan dentingan sendok yang dibanting kasar. 

"Dasar bocah bodoh! Cuma masak telur dadar saja bisa gosong. Memangnya si Rasty itu tidak mengajarimu, hah?!" hardik Wina sambil menjewer telinga Lala. 

"Ampun, Tante ... sakiit!" jerit Lala sambil memegang telinganya. 

"Sakit katamu? Kau bahkan belum merasakan pukulanku!" sahut Wina dengan bengis. 

Plak! 

Satu tamparan mendarat di pipi Lala. Anakku terhuyung ke samping saat mendapat pukulan sekuat itu. Sebelum tangan perempuan itu kembali singgah di tubuh putriku, aku langsung berteriak menghentikannya. 

"Hentikan, Wina!" teriakku keras. Aku segera berlari menghampiri Lala, begitu juga dengan anakku yang langsung mencari perlindungan. 

"Hiks ... sakit sekali, Bu," ujar Lala dengan air mata berjatuhan. Hatiku jauh lebih sakit melihat anakku diperlakukan seperti ini. 

"Berani sekali kau menyakiti anakku!" seruku geram. Aku berdiri dan berhadapan dengan Wina. 

Wina mengangkat sudut bibirnya dengan sinis. "Ibu dan anak sama saja! Sama-sama bodoh dan dungu!"

Wina berjalan mendekat sehingga Lala semakin bersembunyi di balik tubuhku. Aku berdiri dengan tegang karena menunggu perempuan ini beraksi duluan. 

"Aku juga sudah tahu apa yang kau lakukan pada Mama dan aku akan membalasnya!" Setelah berkata demikian Wina langsung menjambak rambutku. Rasa perih dan sakit menghiasi kepala dalam sekejap. 

Tak mau pasrah, aku menendang tulang kering Wina sekuat tenaga, lalu kutinju perutnya hingga dia mengaduh kesakitan. Setelah jambakannya lepas, giliranku menampar perempuan itu berulang kali. 

"Sakiit!" jerit Wina dengan suara tertahan. 

"Ini balasan karena kau telah menyakiti anakku!"

Kutendang perut Wina hingga dia jatuh ke lantai dapur. Lalu dengan cepat aku menduduki perutnya dan kucekik leher perempuan jahat itu. 

"Dengar, Wina ... satu-satunya orang yang akan melakukan pembalasan adalah diriku! Aku yang akan membalas kejahatanmu selama ini!" teriakku dengan napas memburu. Wina menepuk-nepuk tanganku sebagai isyarat minta dilepaskan. 

Aku terus mencekik perempuan itu hingga akhirnya sebuah suara berseru lantang memanggil namaku. 

"Rasty, hentikan! Kau bisa membunuhnya!"

Bersambung . . .

Post a Comment for "Kubalas Perlakuan Suamiku #3 "