Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget HTML #1

Pembantu Rasa Istri #2

Daftar Isi [Tampil]
  
Anieda Tannisha

#Bab 2

Perdebatan terdengar di sebuah gubuk reot yang terletak di ujung kampung, dimana anak tadi merengek-rengek agar diizinkan pergi ke kota.

“Mae, umur kamu itu masih tiga belas tahun. Kamu mau kerja apa nanti di kota?” tanya sang Ibu.

“Mae sudah mau empat belas tahu, lagi pula Mae udah bisa jadi pembantu kaya Teh Roroh, Mak. Mae kan sudah pintar masak, beberesih rumah dan urus adik-adik,” kilah Mae meyakinkan kedua orang tuanya.

Ya, semenjak dirinya menjadi “pengangguran” akibat sudah tidak bersekolah lagi, ia lah yang mengerjakan segala pekerjaan rumah, mulai dari memasak, mencuci, membersihkan rumah dan mengurus keempat adiknya. Sementara sang ibu, bekerja sebagai buruh cuci-setrika keliling.

“Tapi Mae, Apa berat izinkan kamu ke kota. Apa suka dengar cerita dari orang-orang di sawah yang punya tipi, katanya banyak tindak kejahatan terhadap anak kecil. Apa ngeri pisan, Mae.”

“Apa, masalah musibah mah itu rahasia Allah, takdir Allah. Insya Allah, Mae nanti bisa jaga diri, kan Mae juga mau kerja kalau Teh Roroh yang carikan. Siapa tahu majikannya butuh pembantu lagi, atau mungkin saudara majikannya, atau mungkin tetangga dari majikannya itu yang lagi butuh pembantu.”

“Tapi, Mae ....”

“Mak, Pa, sok pikir ya sama Emak dan Apa! Mau sampai kapan kita kaya begini? Hidup miskin, dipandang remeh orang lain, kadang keberadaan kita mah nggak pernah dianggap atuh da. Capek Mae hidup kaya gini terus, Mae kasihan sama Ratih, Ridwan, Rahman dan Rahim yang selalu menangis akibat lapar dan pengen jajan kaya teman-temannya.”

Dahlan menunduk lesu, ucapan putrinya barusan manjadi sebuah tamparan yang sangat telak baginya.  Hatinya teriris, sebagai seorang kepala rumah tangga ia tidak dapat memberikan kebahagiaan serta kecukupan kepada anak dan istrinya.

“Maafin Apa ya, Mae! Harusnya mah Apa yang kerja, tapi Apa bingung mau kerja apa, SD aja nggak tamat da Apa dulu harus ngangon kambing punya tetangga kalau mau makan, Nenek kamu sudah sakit-sakitan, anaknya yang masih hidup Cuma Apa. Kakak Apa ada lima tapi meninggal semua karena kena gizi buruk, akhirmya Apa hanya bisa menggarap sawah orang. Itu pun hasilnya nggak menentu.”

“Apa jangan ngomong kaya gitu, Mae bahagia dan bangga menjadi anak Apa. Karena Apa adalah ayah yang terbaik, selalu mengajarkan kami agar tetap bersyukur walaupun dalam keadaan yang tersulit sekalipun. Untuk itu, Apa tolong izinkan Mae ke kota ya! Teh Roroh pasti akan mencarikan majikan yang baik untuk Mae.”

Dahlan diam, pikirannya bercabang kemana-mana. Melihat hal itu, Mae tidak tinggal diam. Dengan suara agak lantang ia pun kembali bertanya. 

“Gimana Apa? Kok ngelamun, boleh kan Mae ke kota?”

Ayah lima orang anak itu menarik napas panjang, batinnya berkecamuk hebat. Sejenak, ia menatap nanar wajah putrinya.“Nanti malam Apa mau ke rumah Roroh ya, Mae. Kalau dia bisa mencarikanmu pekerjaan yang baik, ingsa Alloh Apa ngizinin Mae berangkat.”

“Ide yang bagus itu, Pa. Emak oge setuju pisan, mudah-mudahan aja Gusti Alloh meridhoi langkah anak kita untuk kerja di Jakarta.”

“Amiin,” ucap ketiganya bersamaan.

Ba’da isya, Dahlan menyambangi rumah Rohaeti, tanpa banyak berbas-basi, ia pun langsung mengutarakan maksud dan tujuannya.

“Duh, Kang… Kenapa atuh anak sekecil itu udah disuruh kerja?”

“Bukan saya yang suruh, Roh. Tapi anaknya sendiri yang mau.”

“Tamatan SD berarti ya?”

“Iya atuh, Roh. Masa iya tiga belas tahun tamatan SMA.”

“Eh biasa weh atuh, Kang! Ngomongnya jangan ngegas kitu ih.”

“Bercanda Roh, ey gitu aja meni marah. Maafin atuh ah!”

“Hehe, Roroh oge bercanda, Kang.”

“Hehe, gimana Roh? Bisa nggak?”

“Udah bisa masak, beberes rumah nggak Kang?”

“Ingsa Alloh soal eta mah, Roh. Pan dia nganggur sataun karena nggak lanjut sekolah tea, jadinya sekarang dia yang ngerjain semua kerjaan rumah, termasuk ngasuh keempat adiknya.”

“Lah, emangna istri Akang kemana? Kok si Mae yang ngerjain semuanya.”

“Keliling, Roh.”

“Keliling? Akang yang jaga lilin?”

“Haha, gelo, memangna Emakna si Mae eta babi ngepet. Sok sembarangan kalau ngomong teh kamu mah.”

“Haha, tadi Akang bilang istri Akang keliling.”

“Maksudna, keliling cari objekan cuci-gosok.”

“Haha … Oh kitu, ya coba entar Roroh cari tau nya. Tapi nggak janji bakalan ada atau enggaknya. Besok lah dikabarin lagi yah.”

“Iya, Roh.”

“Ey, dari tadi didengerin teh manggilnya ‘Rah-Roh, Rah-Roh’ wae. Memangnya saya Roh gentayangan, dedemit, huh!” sungut Rohaeti menekuk wajahnya.

“Astagpirulloh, hampura Roh, eh… Roroh, hehe. Jangan marah yah, namanya nggak sengaja.”

“Astaghfirullah, Kang. Make huruf ‘F’ lain ‘P’.”

“Ey meni protes, da susah atuh Roroh urang Sunda nyebut ‘F’. Lidahnya kacaletot terus, hehe.”

“Hehe, ah bisa wae si Akang mah ngeles. Kaya supir bajaj kalau di kota mah.”

“Hehe, ya udah atuh Roh, Akang pamit ya. Ingsa Alloh besok Akang kesini lagi.”

“Iya, Kang. Mudah-mudahan ada kabar baik nya!”

“Amiinn, terimaksih Roh.”

“Roroh, Kang! ROROH!"

“Alah Gusti kacaletot lagih, iya Roroh.”

“Tah kitu!”

“Hehe, ya udah ya Akang pulang dulu. Assalamualaikum!”

“Waalaikumsalam.”

Sepeninggal Dahlan, Rohaeti langsung menelepon majikannya untuk menanyakan perihal lowongan pekerjaan untuk Mae.

“Umurnya baru tiga belas tahun, Nyonya. Kira-kira Madam mau nggak ya?”

Rohaeti mendengarkan penuturan dari majikannya, kepalanya manggut-manggut tanda ia mengerti dengan apa yang diucapkan.

“Ya sudah, Nyonya. Kalau nanti Tuan Robert bilang OK, tolong segera kabari saya ya Nya!” ucap Rohaeti sembari menutup sambungan telponnya.

Selanjutnya ia pun kembali berkutat dengan dresscode yang akan dibagikan kepada para warga dan wajib dipakai pada saat acara open house nanti. Jauh-jauh hari, saat masih berada di kota, ia sudah merencanakan hal tersebut. Nantinya para tamu undangan yang hadir menggunakan baju seragam, agar terlihat keren.

Berkat sumbangan dari majikannya yang baik hati, Rohaeti kemudian memesan kaos dengan sablon bertuliskan ‘ROROHOLIC BOJONG KENCES, YES!’ berwarna hijau stabilo yang genjreng … jreng… jreng.

***

Keesokan harinya, saat sore menjelang, Dahlan muncul kembali untuk menanyakan kelanjutan info mengenai lowongan pekerjaan untuk putrinya. Rumah Rohaeti tampak ramai oleh para tetangga yang tergabung dalam tim suskes untuk acara open housenya nanti. Setelah menunggu dua jam, akhirnya Dahlan pun dipersilahkan untuk masuk. Sementara para panitia acara open house bubar.

“Gimana Roroh, sudah ada kabar belum?”

“Ada, Kang. Tapi nantinya si Mae bakalan ngurusin orang sepuh. Mulai dari bangun tidur, sampai tidur lagi. Nyiapin dan melayani segala keperluannya.”

“Ngurus sepuh yang sakit setruk gitu?”

“Stroke, Kang!”

“Iya, eta maksud Akang teh.”

“Calon majikan si Mae nggak lumpuh kok, Kang. Dia sehat, cuma punya masalah dengan persendian kakinya. Nggak kuat jalan jauh, semua anak-anaknya rencana mau masukin beliau ke panti jompo. Tapi beliau bersikukuh nggak mau. Anak-anaknya udah pusing Kang sama sikap kasar beliau, udah lebih dari dua puluh orang yang kerja ngurusin dia, tapi nggak ada yang betah.”

“Ih kenapa atuh yah si nyonya Beliau teh kaya gitu.”

“Haha, namanya bukan Nyonya Beliau, ‘Beliau’ yang saya sebut-sebut tadi itu artinya dia, karena dia orang tua alias sepuh, mangkannya saya sebut beliau.”

“Haha, oh kitu. Kirain namanya Nyonya Beliau.”

“Bukan, Kang. Namanya Melisa, orang-orang akrab manggil dia dengan panggilan ‘Madam Lisa’.”

“Euleuh, namanya meni keren yah. Kaya nama penyanyi cilik yang nyanyi ‘semut-semut kecil sama kursi goyang’ jaman dulu.”

“Hehe, si Akang mah ingetan aja. Madam Lisa eta, orang bule Kang. Asli Amerika, Cuma dia udah menetap lama di Indonesia. Bahasa Indonesianya juga udah fasih dan lancar. Suaminya udah lama meninggal, mangkannya sekarang dia sendiri. Walaupun sebenarnya ada pasangan suami istri yang kerja di rumahnya sebagai pembantu rumah tangga dan supir, tapi tetap aja beliau mau ada orang khusus yang ngelayanin beliau.”

Sejenak Dahlan menghela napasnya, ia ragu apakah nanti putrinya akan kuat memiliki majikan seperti Madam Lisa.

“Berat juga ya, Roroh. Akang jadi khawatir si Mae nggak bisa tahan.”

“Nah itu Kang yang saya khawatirkan, kira-kira si Mae akan betah nggak? Masalahnya kan nanti Mae akan tinggal di rumah Madam Lisa, sedangkan Roroh di rumah majikan Roroh, jaraknya sekitar 30 km. Takutnya dia kenapa-napa, Roroh takut.”

“Hmm, coba ya nanti Akang bicarain semuanya sama si Mae.”

“Iya, atau enggak gini aja Kang, si Mae suruh datang ke sini, biar Roroh bisa dengar langsung dari mulutnya. Mau Roroh paitin keadaan calon majikannya kaya apa, supaya dia bisa waspada kalau suatu hari ada apa-apa.”

“Iya atuh, Roroh. Tar besok ya Akang suruh si Mae kesini?”

“Iya, besok, Kang.”

“Ya udah atuh, Roroh. Akang pamit ya.”

“Tunggu sebentar Kang, ini ada dresscode untuk acara malem open house nanti.” Rohaeti menyerahkan satu potong kaos yang masih berplastik kepada Dahlan.

Dahlan sumringah mendapat kaos berwarna genjreng itu. “Hebat kamu Roroh, lama kerja di rumah orang bule jadi lihay bahasa Inggris.”

Rohaeti mengernyitkan keningnya. “Maksudnya, Kang?”

“Iya, kamu meni pasih nyebutin bahasa Inggrisnya kaos. Akang meni susah mau nyebutinnya.”

“Dresscode?”

“Iya itu, reskod.”

“Haha, bukan kang.” Rohaeti tertawa terpingkal-pingkal sambil memegang perutnya.

“Yey, kenapa malah ketawa?"

“Dresscode itu artinya bukan kaos.”

“Ya apa atuh artinya?”

“Ya itu,” jawab Rohaeti sambil menunjuk kaos yang dipegang Dahlan.

“Ya ini kan kaos, Roroh.”

“Ya, tapi artinya dresscode itu bukan kaos. Tapi—“

“Jangan diterusin ah, pusing kepala Akang. Pokona mah besok si Mae ke sini ya?”

“Haha, iya Kang … iya.”

“Ya udah kalau gitu mah, Akang pamit ya Roh. Assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam,” jawab Rohaeti sambil geleng-geleng kepala.

🌼🌼🌼

Bersambung . . .

Post a Comment for "Pembantu Rasa Istri #2"