Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget HTML #1

Pembantu Rasa Istri #3

Daftar Isi [Tampil]
 
Anieda Tannisha

#Bab 3

Dahlan pulang ke rumah, membawa kabar berita untuk putrinya. Mae berteriak girang dan tak sabar ingin segera berganti pagi, agar ia dapat bertemu dan berbicara langsung tentang pekerjaan yang telah dipersiapkan untuknya.

Tak sabar menunggu malam, Mae tampak gelisah. Berkali-kali ia merubah posisi tidurnya yang hanya beralaskan terpal usang yang dialas oleh spanduk bekas partai, dengan bantal tumpukan pakaian yang disusun rapi. 

Mae bangkit dari tidurnya, ia menatap keempat adiknya yang tertidur pulas di sisi kiri dan kanannya. Dalam keheningan malam ia menangis, tidak tega menatap rumahnya yang tak layak huni.

Lantainya tanah, bertemu dengan binatang kaki seribu, kalajengking dan lintah adalah hal yang biasa baginya juga mereka. 

Tak jarang juga saat musim penghujan tiba, ia harus bergadang bersama kedua orang tuanya, untuk menadah air hujan yang masuk lewat celah atapnya yang berlubang, ditambah dengan percikan air dari lubang-lubang anyaman bambu dinding gubuknya.

“Ya Allah, Engkau Maha tahu niatan hamba ke kota itu apa, tolong permudah dan lancarkan ya Allah. Hamba ingin membahagiakan adik-adik hamba, mengangkat derajat kedua orang tua hamba agar tidak lagi dihina oleh orang lain.”

Itulah sepenggal bait doa yang dipanjatkan Mae, gadis itu sudah bertekad bulat pergi ke kota dengan segala resikonya. Baginya selama pekerjaan yang didapatkannya nanti halal, maka ia tidak akan pernah mengeluh.

Ia kembali berbaring, sesenggukan dibalik kain batik usang yang biasa dipakainya sebagai selimut. Tak terasa, ia pun akhirnya tertidur lelap membawa tangis duka yang mendalam.

***

Saat adzan subuh berkumandang, Mae terbangun. Untuk sesaat ia mengerjapkan matanya, kepalanya terasa pusing akibat menangis semalaman. Namun saat ingat akan janji temu dengan Rohaeti, mendadak pening yang dirasakannya reda. Semangatnya berkobar waktu menoleh kepada keempat adiknya yang masih terlelap.

Selanjutnya, ia pun segera beranjak ke belakang rumah untuk mandi dan berwudhu. Kamar mandinya hanya ditutup oleh beberapa helai tripleks bekas setinggi pinggang orang dewasa, bak mandinya sebuah baskom plastik yang sudah banyak tambalan, dimana rantang stainless lah yang menjadi gayungnya.

Mae menimba air, lalu kemudian menuangkannya ke dalam baskom sampai penuh. Tanpa rasa dingin gadis bertubuh kurus itu berjongkok sambil mengguyurkan air ke rambut dan seluruh tubuhnya.

Sesaat setelah menyabuni tubuhnya, ia menuangkan sedikit sabun colek dari dalam kemasannya, lalu mengusapkan ke rambut. Mae tidak mau banyak protes dengan apa yang ia dapatkan dan apa yang dipakainya selama ini. 

Baginya, bisa makan saja itu sudah lebih dari cukup, walaupun terkadang ia sering menangis bila melihat teman-teman sebayanya asyik jajan beban dan bersekolah dengan riang gembira.

Sepuluh menit kemudian, Mae pun keluar dari kamar mandi yang alakadarnya itu. Lalu dengan khusyuk ia melaksanakan dua rakaat shalatnya. Usai shalat kemudian ia pun membangunkan kedua adiknya, Ratih dan Ridwan untuk segera mandi dan bersiap ke sekolah. 

Kemudian, ia ke dapur untuk memasak. Pagi itu, menu yang akan dimasaknya adalah gorengan oncom dan tumis genjer.

“Neng, kamu ke rumah Teh Rorohnya nunggu Emak pulang nyuci gosok ya, hari ini mah deket da, cuma di rumah Bu Haji Uum. Sengaja Emak nggak ke kampung sebelah, supaya bisa pulang cepet. Ingsa Alloh sebelum duhur, Emak udah ada di rumah,” jelas Marni sambil memotong-motong genjer.

“Iya, Mak. Nanti mah kalau Mae udah kerja, Emak jangan ngaburuh cuci gosok lagi ya! Mae akan kirim seluruh gaji Mae ke kampung, Mae nggak mau adik-adik kelaparan lagi. Mae mau Ratih dan Ridwan pakai seragam sekolah yang baru, sepatu, tas dan alat tulis yang bagus. Kalau perlu kalau sekolah mereka masing-masing naik sepeda kaya anak-anak lain.

Dan untuk si kembar mereka bisa punya mainan yang bagus, jadi nggak perlu lagi nangis karena kepengen mainan orang. Nanti kita bangun sedikit-sedikit rumah ini, supaya layak untuk ditempati. Apa juga jangan jadi buruh tani di sawah orang, lebih baik jualan atau cari kerjaan lain yang pasti uang didapat setiap hari.”

Marni menghentikan pekerjaannya, air matanya berlinang mendengar perkataan putri sulungnya. Hatinya perih bagai disayat sembilu.

Wanita berusia tiga puluhan itu berjalan mendekati Mae yang sedang menggoreng oncom, sambil terisak kemudian ia pun memeluk tubuh kurus putrinya dengan erat.“Amiin ya Alloh, sungguh mulia niat dan cita-citamu itu Mae. Emak dan Apa akan senantiasa berdoa untuk keselamatanmu. Terimakasih banyak ya, Emak sangat bangga punya anak kaya kamu. Hiks ….”

“Mae juga bangga punya Ibu hebat kaya Emak, nggak pernah mengeluh walaupun kehidupan kita sangat susah. Emak selalu menyembunyikan air matanya, demi kami. Terimakasih Emak, Mae sayang sama Emak.”

Keduanya pun berpelukan, menumpahkan segala rasa yang membuncah di dalam dada. 

Waktu menunjukkan pukul 12.00 wib, Mae sudah gelisah menunggu sang ibu tak juga menampakkan batang hidungnya. Beberapa kali ia berjalan keluar masuk. Namun saat adzan dzuhur berkumandang, orang yang sedaritadi dinantikan pun akhirnya datang.

“Assalamualaikum,” salam Marni saat memasuki rumah.

Mae yang waktu itu sedang menyuapi kedua adik bungsunya menjawab salam dengan wajah berseri, “waalaikumsalam, Mak. Kemana aja Mak?”

“Maap Mae, tadi tiba-tiba aja Bu Kokom nyuruh nyetrika. Lumayan dikasih tiga puluh ribu, mau Emak simpen untuk ongkos kamu ke Jakarta nanti.”

“Alhamdulillah, ya udah Emak shalat dulu. Habis Emak shalat, baru Mae berangkat.”

“Iya, geulis.”

Marni berjalan menuju dapur dan menuangkan air minum dari kendi berwarna coklat yang terbuat dari tanah liat ke dalam sebuah gelas, lalu meneguknya sampai habis. Tak membuang waktu, ibu dari lima orang anak tersebut langsung mengambil handuk dan masuk ke dalam kamar mandi. 

Setengah jam kemudian, Marni mendatangi putrinya yang sedang mencuci piring di kamar mandi.

“Neng, sana salat! Cucian piringnya biar Emak yang nerusin. Takut keburu siang, nggak enak sama Teh Roroh.”

“Nanggung Mak, tinggal satu lagi. Emak makan aja, Mae udah gorengin oncomnya.”

“Iya atuh, nuhun ya Neng.”

“Iya, Mak. Sama-sama.”

Lima menit kemudian, Mae segera mengambil air wudhu dan bergegas melaksanakan shalat dzuhur. Kemudian anak sulung dari lima bersaudara itu pun berpamitan kepada ibunya.

Dengan langkah penuh semangat, ia pun berjalan menuju rumah Rohaeti yang berjarak 500 meter dari rumahnya.

Sesampainya di sana, Mae langsung dipersilahkan masuk oleh adik Rohaeti yang sebaya dengannya.

Setelah menunggu lima menit, muncullah sosok yang ditunggunya dengan wajah polos tanpa makeup. Mae berdiri dan mencium punggung tangan orang yang sangat ia idolakan itu.

“Sok mangga duduk Neng!” Rohaeti mempersilahkan tamunya duduk.

“Hatur nuhun, Teh.”

“Kamu beneran mau kerja?” tanya Rohaeti menatap lekat gadis kecil yang duduk di hadapannya.

“Iya, Teh.”

“Tapi nggak gampang Neng kerjanya, kamu nanti harus ngurusin orang tua yang judes dan galak. Kamu akan kurang istirahat karena pastinya setiap saat majikanmu akan meminta dan menyuruh ini itu kepadamu.”

“Insya Allah, Mae siap Teh. Mae udah capek hidup serba kekurangan, bukan Mae nggak bersyukur dengan apa yang sudah digariskan oleh Allah, tapi Mae kasihan sama keempat adik Mae kalau harus bernasib seperti kakaknya, sekolah hanya bisa sampai SD. Mae mau mereka bisa sekolah tinggi, walaupun nggak sampai kuliah, minimal sampai SMA supaya bisa kerja di tempat yang lumayan.”

“Ya Allah, Neng. Pemikiran kamu dewasa sekali. Teteh ikut prihatin ya Neng.”

“Makasih banyak, Teh. Tolong Mae ya Teh! Tolong pekerjakan Mae, jadi apa aja Mae mau asalkan halal. Mau majikannya galak dan judes nggak apa-apa Teh, yang penting Mae bisa dapat uang untuk keluarga.”

Rohaeti menarik napas panjang, ia merasa kagum dan salut kepada tekad serta keinginan Mae yang kuat untuk merubah nasib hidup keluarganya.

🌼🌼🌼

Bersambung . . .

Post a Comment for "Pembantu Rasa Istri #3"