Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget HTML #1

Rahasia Suamiku #3

Daftar Isi [Tampil]
  
Eni Martini

#BAB 3

Tetangga Sok Tahu

Tidak! Aku tidak  boleh berpikiran buruk ketika suami sedang bekerja mencari nafkah, dan uang ini seperti biasa sebaiknya aku tabung. Mana tega aku membelanjakan uang dari hasil kerja keras suami, apalagi Mas Hendra sampai harus meninggalkan rumah. Masa aku di rumah senang-senang shopping? Atau mungkin sebaiknya aku putar jadi modal?

Aku pernah memiliki rencana untuk membeli bahan dan menjahitnya menjadi jilbab, outer, untuk kupasarkan di facebook. Selama ini untuk membunuh jenuh di rumah saat Mas Hendra bekerja, aku memang selain menjahit, berjualan online di facebook, tapi masih skala kecil-kecilan. Tanpa sepengetahuan laki-laki itu tabunganku sudah cukup lumayan, meski tidak bisa dibilang banyak sekali.

Memikirkan rencana itu, kuputuskan hari ini untuk ke Pasar Tanah Abang membeli bahan dan beberapa benang yang aku butuhkan. Aku  bisa mengendarai motor ke stasiun, lalu lanjut naik commuterline menuju Tanah Abang.

“Mau ke mana, Mba Aya, pagi-pagi sudah cantik sekali,” tetangga samping rumahku yang sedang sibuk menjemur baju menegur.

“Ke Tanah Abang,” jawabku singkat, aku memang kurang suka bercakap-cakap terlalu lama dengan tetangga karena mereka rata-rata menyapa sekedar basa-basi, ke sananya lebih banyak kepo dan sok tahu.

“Abang ganteng tugas lagi, kok malam gak kelihatan?”

Betul kan? Aku menghela napas sebelum menjawab, “Iya, lagi dapat lemburan ke luar kota.”

“Hati-hati, Mba, suami ganteng, sering lembur, beneran lembur atau ngelemburkan diri?”

“Iya, loh, Mba Ayana, hati-hati. Ini saya  serius, apalagi kalian belum punya anak. Banyak pelakor di luar sana yang siap mengincar. Suami ganteng, gak ada duit juga banyak yang mau.” Tetanggaku satunya lagi muncul, padahal sedang menyuapi anak berusia 3 tahun. Tidak layak rasanya membahas hal tidak pantas seperti itu.

Aku hanya tersenyum sambil menyalakan motor, dan segera berlalu. Lamat-lamat masih kudengar suara mereka berdua membahas Mas Hendra, padahal apa pentingnya buat hidup mereka?

...

Aku  merapikan hasil belanjanku tadi, ada beberapa bahan dengan  motif yang berbeda-beda, rencanaku akan aku buat hijab segi empat, pashmina, dan hijab bergo simpel yang manis untuk dikenakan di rumah. Aku beli bahan murah-murah saja karena memang segmen pasarnya ibu-ibu rumah tangga biasa, yang penting laris manis.

Setelah beberes belanjaan, aku istirahat di kamar. Dua hari sudah Mas Hendra pergi, ponselnya seperti biasa dimatikan. Biasanya jika dia akan pulang, maka langsung datang pesannya atau teleponnya. Sebenarnya, aku tidak suka dengan hal ini. Boleh saja dia tugas berhari-hari, asalkan aku bisa menghubunginya sekedar menanyakan keadaannya, bercerita kejenuhanku, atau kekesalanku terhadap omongan tetangga. Tapi bagaimana lagi, Mas Hendra sudah memohon pengertianku akan itu.

Katanya, jangan mencurigainya karena dia setia, tidak akan berpaling atau pun selingkuh. Aku sebagai istri harus memberikan suami kepercayaan agar jalan rejeki lancar. Sejauh ini, sudah setahun bersama laki-laki itu, Mas Hendra memang selalu setia. Haruskah aku protes?

“Hati-hati, Mba, suami ganteng, sering lembur, beneran lembur atau ngelemburkan diri?”

Aku mendesah mengingat ucapan tetangga, memang begini nasib rumah kontrakan petakan. Kanan-kiri banyak yang kepo karena kurang pekerjaan, mereka rata-rata ibu rumah tangga, yang selesai kerjaan rumah lalu duduk ngobrol bergerombol, atau sambil menyuapi anak saling berghibah. Hiburan mungkin, tapi kalau sampa membuat kuping panas, rasanya keterlaluan.

Aku mendengus, memikirkan itu jadi hilang kantuk. Perlahan aku ke lemari, mengambil kotak beludru warna ungu yang di dalamnya terdapat cincin putih dengan mata biru yang indah sekali. Walau hanya imitasi, tapi jika aku rindu Mas Hendra, aku senang memakai dan mengamati cincin ini. Aku pernah memakainya untuk kondangan, tapi jadi malu karena jadi perhatian banyak orang. Mungkin, cincin ini terlalu indah dan mereka menertawakan dalam hati, sebab hanya imitasi.

Aku tersenyum miris.

Bersambung . . .

Post a Comment for "Rahasia Suamiku #3"