Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget HTML #1

Saat Istriku Tak Lagi Meminta Uang #3

Daftar Isi [Tampil]
  

#BAB 3

Serba Salah

Seperti bumerang, aku serba salah menghadapi Ayu. Istriku sekarang malah lebih tegas dan membalikkan semua perkataanku. Bahkan, kali ini saja aku dibuat bungkam olehnya.

"Maaf kalau Mas salah. Mas hanya---"

"Berbakti pada orang tua? Membuat ibu senang karena ibu yang merawat dan membuat Mas hebat seperti ini, kan? Damar Prakoso, IT ternama dan terpecaya di sebuah perusahaan besar di Jakarta. Benar bukan?" 

Hal yang aku takutkan begitu nyata. Senyumnya membuat diri ini merasa bersalah. Apa istriku tidak waras? Kenapa dia seperti itu? Senyumnya pun terpaksa gitu. Bersyukur deh, dia tahu apa yang aku pikirkan.

"Sudah, bersihkan wajahmu. Mas risih melihatnya." 

Ayu berlalu begitu saja. Ia ke kamar mandi membersihkan wajah seperti apa yang aku perintahkan. 

Saat ke luar kamar mandi, auranya semakin cantik. Membuat hasrat lelakiku bergairah, sepertinya aku akan bersenang-senang malam ini.

"Sayang, kamu cantik banget, sih. Sini duduk di sini," pihtaku.

"Nggak usah memuji, aku sedang datang bulan. Tuh, aku habis ganti pembalut." Dengan tawa Ayu memperlihatkan bungkus pembalutnya. 

Astaga, aku gigit jari malam ini. Aku merebahkan diri di kasur dan menutup tubuh dengan  selimut. Wajahku masih terasa panas, saat Ayu mentertawakan kekonyolanku.

***

Kenapa bangun tidur moodku, masih kurang bagus? Ah, sial! Gara-gara tamu datang bulan, aku jadi gagal semalam.

"Mas, ada Ibu." Terdengar Ayu memanggilku.

"Iya, tunggu. Mas cuci muka dulu," jawabku. 

Tumben Ibuku datang pagi-pagi sekali. Ada apa, ya?

Setelah mencuci muka aku menghampiri Ibu yang sedang bermain dengan Bagas dan Anita. Kedua anakku sangat akrab dengan Ibu.

Usia Bagas tujuh tahun dan Anita lima tahun. Jarak yang sangat dekat, itu pun kemauanku agar tidak terlalu jauh saat mereka dewasa.

"Bu," ucapku sambil mencium punggung tangannya.

"Kamu baru bangun?"

"Iya, tadi habis shubuh tidur lagi. Ada apa, Bu?" 

"Besok ada acara nikahan sepupumu Aldo. Kita semua diundang, bisa Ndak antar Ibu? Ajak anak dan istrimu juga. Sekalian temu keluarga." 

"Ouh, bisa, Bu. Besok Damar jemput ke rumah, ya."

Kulihat istriku sibuk di dapur. Kenapa tidak menemani ibuku sih? Malah sibuk di dapur. 

"Ibu sudah minum?" 

"Belum, istrimu sibuk sendiri. Mana dia ingat memberi ibu minum," ujar Ibuku.

Kesal aku mendengarnya. Tak lama Ayu datang membawakan minuman untuk Ibu.

"Kamu kok baru datang ngasih ibu minum?" Aku sengaja menegur Ayu di depan ibu. Agar ibu tidak merasa terabaikan.

"Ya, iya baru. Abis ibu minta buatkan jahe hangat, ya, kan lama buatnya. Digodok dulu, apalagi aku bersihkan dulu jahenya. Yang bubuk habis, jadi aku buatkan alami." Ayu menjawab cepat.

Lagi, ia menaruh gelas dengan senyum. Namun, senyum itu kembali membuat aku takut. 

"Diminum, Bu. Nanti dingin nggak enak, malah nanti aku nggak enak kalau dikira nggak bikinin ibu minum."

Wajah ibu memerah saat mendengar ucapan Ayu. 

"Eh, iya. Ibu lupa tadi." Ibu malah gerogi saat mendengar penuturan Ayu.

Aku segera menghampiri Ayu di dapur. Tangannya cepat sekali memotong bumbu dan menyiangi sayuran. 

"Kamu jangan seperti itu sama ibu," protesku.

"Aku hanya membela diri," jawabnya tanpa menoleh padaku.

"Kalau Ibu lupa, ya sudah. Jangan dibahas."

Lagi, aku memperingatkannya.

"Kalau aku diam, kamu bilang aku kaya patung lagi. Aku jawab salah, aku harus bagaimana? Diam gitu saat aku dijelekkan dan malah kamu lebih percaya ibu?"

Duh, aku salah lagi, nih. Kenapa sih Ayu semakin pintar membalikkan ucapanku? Tidak mau banyak berdebat, aku memilih menghindar saja.

Aku kembali menemui Ibu yang sedang menikmati jahe hangat buatan Ayu. 

"Istrimu itu, kenapa, sih, nggak bisa mulutnya nggak nyakitin ibu?" 

"Lagi datang bulan, Bu. Jadi sensitif." Kali ini aku membela Ayu di depan Ibu.

"Halah, begitu saja dijadiin alasan. Kalau nggak suka sama ibu, bilang. Jangan sedikit-sedikit menjawab omongan ibu. Ndak sopan, tahu."

Aku merasa bersalah kalau melihat ibu sedih. Tidak pernah aku melihat dia seperti itu.

"Mar, istrimu kamu belikan skincare apa? Ibu mau juga, dong. Kayanya, udah banyak flek di wajah ibu, deh."

"Hah, skincare?"

"Iya, itu ibu-ibu satu komplek bilang kalau kamu, tuh royal sama istrimu."

"Pakai saja uang yang aku kasih untuk ibu. Kan, belum habis uang sebanyak itu. Lagi pula aku nggak pernah membelikan skincare buat Ayu. Ibu tahu sendiri beberapa persen gaji aku kasih ibu dan sesuai saran ibu, aku hanya memberikan Ayu 1.500.000 untuk sebulan. Lagi pula, Ayu nggak pernah minta uang lebih. Kayanya dia make alami deh."

"Moso?"

"Iya."

Aku menegaskan lagi. Kenapa lagi-lagi kecantikan istriku yang menjadi bahan perbincangan?

"Kayanya nggak mungkin alami, deh. Jangan-jangan ada yang istrimu tutupi. Apa dia main serong dan dapat uang dari pria lain?"

Ucapan ibu sama saja seperti Arman. Hati ini seperti teriris pisau saat mendengar dan membayangkan. Hanya demi skincare, istriku berselingkuh? Ah, sial! Mana mungkin, tapi ---

Bersambung . . .

Post a Comment for "Saat Istriku Tak Lagi Meminta Uang #3"