Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget HTML #1

Dinikahi Suami Sahabatku #1

Daftar Isi [Tampil]
 
Majarani

#Bab 1

Pertemuan Pertama

Hari ini, aku menatap dia yang kucinta mengucap ijab kabul kedua dengan sahabatku, setelah bersamaku dulu, sepuluh tahun yang lalu. Saat usiaku dua puluh satu tahun.

Mas Hafi, tampan sekali dengan balutan pakaian putih khas pengantin. Rasanya ... seperti kemarin melihat dia memakai pakaian yang sama, bedanya kali ini dia menyebut nama Faiza sebagai calon istrinya.

"Sah!" 

Semua orang mengucapkan doa untuk mereka. Sementara itu, aku hanya bisa tersenyum dari kursiku. Menatap dia yang kucinta, dan dia yang dulu selalu menemaniku ke mana saja, sahabat terbaikku, yang kini jadi istri suamiku juga.

Di sinilah semua bermula, karena aku yang mempertemukan keduanya. 

Iya, aku ... Hasna Sophia, istri pertama dari Muhammad Hafi Hakim.

*** 

Sebuah pesan masuk ke dalam grup chat alumni sekolah. Hasna mengambil ponsel dan membukanya, di sana tertulis nama yang tak asing baginya meminta tolong.

Untuk teman-teman alumni, minta tolong jika ada tempat kost kosong dengan harga terjangkau di wilayah Cijerah Bandung, mohon infokan ke saya. Kebetulan saya ditugaskan di wilayah itu untuk mengajar. Terima kasih. Faiza.

Hasna menatap nama dari nomor yang baru dimasukkan ke dalam grup tersebut. Grup whatsapp yang baru dibuat dua hari lalu oleh teman-teman alumni sekolah. Ia pun langsung menekan nomor itu dan langsung masuk ke chat pribadi.

Hal pertama yang Hasna lakukan adalah membuka foto profil Faiza yang hanya ada gambar meja dan buku pelajaran.

Assalaamu'alaikum, sapa Hasna di chat pribadi Faiza.

Centang dua biru. Serta jawaban salam dari yang disapa.

Boleh telepon? Ini Hasna. 

Ya ampun, boleh atuh. Kangen ih.

Begitulah obrolan pertama dimulai. Hasna dan Faiza adalah sahabat baik sejak SD, SMP lalu SMA, tapi terpisah saat mengambil jurusan kuliah. Meski begitu, mereka tetap menyempatkan bertemu jika sempat. 

Komunikasi keduanya terputus saat Hasna menikah dengan jodoh pilihan keluarganya. Faiza merasa sungkan jika harus sering berkomunikasi, selain karena dia ditugaskan di daerah terpencil di luar Pulau Jawa di dinas pertamanya setelah lulus dan menjadi seorang guru.

Ia menjadi relawan pendidikan dengan mengajar anak-anak di pulau terpencil. Untuk makan nasi saja, kadang dia harus menempuh waktu lebih dari 24 jam. Mengarungi laut dengan kapal kecil, tak jarang ombak mengganggu dan menggodanya meski tetap mengingatkannya pada Yang Maha Kuasa.

"Sudah dinas di sini?" tanya Hasna ketika menghubungi Faiza. 

"Iya, kebetulan kemarin melamar ke sebuah sekolah swasta, sekolah dasar, dan diterima. Tapi belum dapat tempat kost," jawab Faiza dengan lembut seperti biasa.

"Nanti aku carikan, deh. Budget berapa?" tanya Hasna.

"Jangan mahal-mahal, deh. Gajiku belum besar, tabungan juga ... ya kamu tahu lah, Na," kekeh Faiza dari jauh sana.

"Nikah atuh, biar ada yang cariin nafkah."

Hening, tidak ada jawaban dari sahabatnya tersebut. 

"Eh, maaf," ujar Hasna merasa tak enak.

"Gak apa, Na. Cuma memang belum ada yang mau, mungkin karena Faiza anak yatim piatu," katanya dengan suara tawa yang menyusul.

"Apa hubungannya coba?" tanya Hasna. "Semoga dapat jodoh yang sholeh dan mapan, ya."

"Aamiin ...."

"Semoga kayak suamiku, mapan, sholeh sudah pasti, penyayang dan romantis."

"Aih, jadi baper aku, meluk guling, nih," canda Faiza dari ujung sana.

"Gak ada yang gak mungkin, Za. Kamu shalihah, pasti dapat yang sholeh juga. Dulu aku juga gak yakin, sampai akhirnya bertemu dengan Mas Hafi dan itu juga dijodohkan abi." 

"Iya, aku inget kamu galau nikah. Eh, dah punya anak, kan?"

"Sudah, dua." 

Hasna menceritakan tentang dua anaknya yang baru berusia delapan tahun dan lima tahun. Mereka sedang aktif-aktifnya. Anak pertamanya lelaki, bernama Fajar dan yang kedua perempuan, bernama Safia.

"Kamu kapan nih, Za? Nikah?" goda Hasna sambil tertawa.

"Duh, entahlah, Na, belum ada yang mau sama perempuan yang tak punya keluarga kayak aku," jawab Faiza dengan kekehan lembut.

"Lho, apa hubungannya? Kamu, sih, kelamaan dinas di luar pulau sih."

"Yah, mau gimana lagi? Jika tidak ada yang peduli dengan nasib pendidikan anak-anak di pelosok, kasihan juga 'kan? Apalagi soal agama dan membaca qur'an."

"Masyaa Allah, kamu bener-bener luar biasa, Za. Apalah aku ini, sibuk sama ngurus anak dan suami," kekeh Hasna.

"Itu pahalanya lebih besar lagi atuh, Na. Kamu itu hebat, bisa memiliki suami saleh dan anak-anak yang sehat, rumah tangga harmonis, impian banyak orang. Ujian kenikmatan, sementara aku diuji dengan kisah berbeda. Allah 'kan selalu memberi apa yang kita butuhkan, bukan yang kita inginkan." Faiza menatap langit-langit kamar yang akan segera dia tinggalkan. "Eh, sudah berapa jam ini kita ngobrol ngalor ngidul?" 

Tawa Faiza yang lembut membuat Hasna pun tersadar, ada rindu untuk berjumpa sahabatnya itu. Sejak dulu, mereka selalu pergi ke mana saja bersama-sama. 

"Aku akan carikan tempat kost yang dekat dengan rumahku, ya, biar kita bisa ngobrol dan aku ada temen saat Mas Hafi kerja dan anak-anak sekolah." Hasna bersemengata.

"Hasna ... Hasna, kan aku juga ngajar atuh." 

"Eh iya, ya."

Tawa keduanya masih terdengar hingga saling menutup panggilan telepon. Hasna menatap rumahnya yang besar, memiliki dua lantai dan ada paviliun yang tak terpakai di sana. Hanya digunakan untuk menaruh barang yang tak lagi digunakan. 

Ia pun memiliki ide untuk menyewakan paviliun rumahnya menjadi kamar kost untuk sahabatnya. Setidaknya, dia bisa mengobrol dengan Faiza jika dia pulang bekerja. Seperti dulu, saling mencurahkan perasaan dan saling menasehati. 

Hasna pun tersenyum, berniat mengutarakan niatnya pada suaminya, yaitu Hafi.

*** 

"Kost? Laki-laki apa perempuan?" tanya Hafi yang sedang menikmati makan malam.

"Perempuan lha, dia itu sahabat aku saat SMA sama kuliah. Sampai pas lulus kita pisah. Dia memilih jadi relawan ke pulau-pulau terpencil, mengajar baca tulis qur'an. Sementara aku, nikah sama kamu ...." Hasna menatap suaminya yang tersenyum.

"Sementara?" tanya Hafi sambil meraih gelas dan meneguknya.

"Ya, enggak. Tempat kost di sini mahal-mahal. Dia baru saja diterima ngajar di sekolah Fajar, jadi kupikir gak papa kalau Fajar juga jadi dekat dengan gurunya." Hasna terus meyakinkan suaminya agar merestui niatannya membuat Faiza tinggal di dekat mereka.

Hafi menatap dengan senyuman, ia pun meraih tangan istrinya dan mengecupnya.

"Masalahnya, jika laki-laki ... takut jadi fitnah padamu. Jika perempuan, takut jadi fitnah padaku."

"Duh, kan kamu dan dia sama-sama kerja, Mas .... Lagian di paviliun itu kan ada pintu khusus ke pagar samping. Jadi, kamu juga bisa pagar tuh buat sekat antara rumah kita dan paviliun, jadi dia punya halaman sendiri dan pintu sendiri. Gak kayak gabung sama kita." Hasna terus memaksa, bahkan sudah menyiapkan design untuk menyekat dengan pagar bambu yang cantik antara halaman dia dan halaman Faiza nantinya.

Hafi tak bisa menolak istri tercintanya. Dia setuju dan mengangguk. 

"Apapun, aku paling gak bisa menolak kamu," bisiknya dengan senyuman yang manis.

Hasna tersenyum, memeluk suaminya dan ia tak sabar mengabarkan pada Faiza, bahwa mereka bisa berdekatan seperti dulu. 

*** 

Faiza turun dari sebuah taksi online dengan tas besar di tangan. Menatap rumah sederhana tapi besar di hadapannya. Mencocokkan dengan alamat yang tertulis di hlaaman percakapan dia dan Hasna.

Tangannya pun segera menyentuh tombol panggil, menghubungi sahabatnya.

"Sudah sampai?" tembak Hasna.

"Iya, ini di depan rumah," jawab Faiza dengan tersenyum.

Tak lama, pintu pagar terbuka.

"Faiza, masyaa Allah ... ketemu lagi kita," pekik Hasna dari balik pagar dan langsung memeluk sahabatnya.

Air mata haru pun terlihat di wajah keduanya, sambil mengingat moment perpisahan mereka sepuluh tahun lalu saat sama-sama lulus dan mengabdi dengan cara yang berbeda.

Hasna meminta pekerjanya membawakan tas Faiza ke dalam rumah, membukakan pintu dan mempersilakan masuk. Keduanya duduk di sofa dengan tetap saling bergenggaman tangan, seperti adik kakak yang akhirnya dipertemukan setelah sekian lama terpisah.

"Fajar, Safia, kenalkan ini Tante Faiza," ujar Hasna memperkenalkan dua anaknya pada Faiza. 

"Ya ampun, gemesin, ya, jadi pengen," canda Faiza.

"Iya atuh buruan, mau sampai kapan single? Usia dah tiga satu lho," balas Hasna.

"Cariin lah, kayaknya kamu pandai nih cari suami. Aku mah takut pada mundur, pas tahu aku dah gak punya sanak keluarga."

"Serius mau aku cariin? Aku ada sih calon untuk kamu. Dia itu saleh, pasti menerima kamu apa adanya. Apalagi cuma karena gak punya keluarga, itu bukan aib. Kamu itu istimewa, Za .... Cerdas, cantik juga, apa sih lelaki gak suka? Jangan-jangan kamu pemilih?" selidik Hasna memicingkan mata.

Faiza menutup mulutnya dengan menggeleng. "Beneran ih, gak ada yang mau. Sekalinya pernah dikhitbah, tapi sama yang udah punya istri. Sayak gak mau," katanya dengan terkekeh lagi.

"Ish, serius? Apa salahnya jadi yang kedua?"

"Imej saat ini buruk, Na. Aku gak siap. Kupikir, selagi masih ada bujang dan perjaka, kenapa harus sama yang udah punya? Doakan saja, ya."

Hasna tersenyum dan mengangguk. Ia pun mengajak Faiza ke tempat kost yang dia siapkan. 

"Lho jadi rumah kamu sendiri tah dibuat kos-kostan?" Faiza melebarkan mata.

"Iya, biar kita bisa bareng lagi. Lagian paviliun ini gak pernah digunakan. Awalnya cuma kosong aja gitu tempat mainan anak-anak. Jadi sekarang aku supa deh, demi persahabatan kita." Hasna menatap Faiza yang tersenyum penuh haru.

"Semoga aku bisa membalas kebaikanmu, Hasna."

"Aamiin," balas Hasna. 

Faiza pun sibuk merapikan pakaian dibantu Hasna. Tak lupa buku-buku dan surat berharga yang diminta oleh pihak sekolah. Keduanya asik mengobrol sampai suara batuk palsu terdengar dari luar.

"Kayak suara Mas Hafi, emang ini jam berapa, ya?" kekeh Hasna, seraya keluar dan melihat suaminya berpangku tangan di balik pagar dengan sangat memesona.

"Eh, Mas. Maaf, saking kangen sama Faiza lupa kamu pulang cepat hari ini," ujar Hasna dengan wajah yang merekah dan senyum yang ceria. "Faiza, sini!" panggilnya lagi.

Hafi hanya angkat alis dan membuka ponselnya, sedangkan Faiza keluar dari kamar barunya dan terlihat sungkan.

"Mas, ini Faiza. Za, ini Mas Hafi, suamiku," ujar Hasna.

Hafi mengangkat wajah dan menoleh ke arah Faiza yang mengatupkan kedua tangan sambil menunduk sedikit. Namun, akhirnya mata keduanya bertemu saat Faiza mencoba melihat seperti apa suami sahabatnya, hanya untuk mengenalnya. 

"Hai," ujar Hafi kaku dan memalingkan pandanga ke arah lain.

"Terima kasih, sudah mengizinkan tinggal di sini," balas Faiza dengan sopan dan tak berani melihat pada sang pria juga.

Hafi hanya mengangguk dan pamit kembali ke dalam rumah. 

"Aku pulang dulu, ya, nanti kita ngobrol lagi." Hasna tetap berbinar meski wajah Faiza dan suaminya sama-sama terlihat tegang satu sama lain. 

Post a Comment for "Dinikahi Suami Sahabatku #1"