Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget HTML #1

Dinikahi Suami Sahabatku #2

Daftar Isi [Tampil]
 
Majarani

#part 2

Siapa Dia?

Malam dilalui dengan nyaman oleh Faiza. Kamar ini sangat rapi dan lengkap. Semua perabotan tinggal dipakai tanpa harus beli. Benar-benar hanya membaca baju, berkas dan diri, tak perlu lagi membeli barang untuk mengisi kamarnya.

Faiza membuka plastik yang ia bawa, ada lima mie instan di sana. Rasa lapar membuatnya hanya menikmati makanan nikmat tersebut. Beruntung, Hasna juga sudah menyediakan dapur kecil di dekat kamar mandi, lengkap dengan kompor satu tungku dan panci juga penggorengan mini.

"Hasna ini baik banget sih," ujar Faiza. "Beruntung pula dia. Dapat suami mapan, tampan, dan perhatian. Katanya romantis," gumam Faiza bicara sendiri.

Tangannya sibu menuangkan bumbu ke dalam mangkuk yang lagi-lagi sudah ada sekitar setengah lusin juga piring dan sendok.

"Aku gak bisa balas kebaikanmu, Na." Ia menikmati mie instan sambil mendengarkan murotal dari kanal youtube, hingga terdengar ketukan ke pintu kamarnya.

Faiza bergegas membuka pintu, terlihat Hasna dengan manis ada di sana.

"Makan di rumah, yuk, aku dah izin Mas Hafi dan boleh," katanya dengan sumringah.

"Aku lagi makan, Hasna. Makasih, ya."

"Ish, ayolah, kapan-kapan kita makan bareng begini. Aku lho sengaja nyuruh Mbak Mur supaya masak makanan kesukaan kamu." Hasna terus memaksa.

"Gak enak sama suami kamu, Na. Aku ini kan orang asing, dia pasti gak nyaman. Suamimu kayaknya orang saleh, gak sembarangan bergaul dan akrab dengan perempuan. Cukuplah kita makan bareng kalau dia gak ada, ya." Faiza mendorong Hasna keluar kamar kost sambil tertawa.

Sang pemilik kost pun tertawa dan mengangguk, meninggalkan Faiza yang tetap menikmati mie instannya.

Hasna kembali ke dalam rumah, berjalan ke meja makan dan menatap Hafi yang sedang mengobrol dengan Fajar dan Safia.

"Faiza gak mau makan bareng, gak enak sama kamu katanya, Mas. Takut gak nyaman."

"Nah tuh tahu, iyalah aku gak nyaman, Yang." Hafi tersenyum dan mulai menyendok nasi.

"Faiza juga salehah kayak kamu, Mas. Sama-sama gak nyaman sama orang asing."

Hafi menggeleng tajam, dia sibuk menikmati makanan yang ada di hadapannya. Meski pikirannya sedikit mengingat perempuan yang bernama Faiza. Senyum wanita itu masih sama, seperti pertama kali mereka bertemu.

Iya, jika tidak salah. Mereka pernah bertemu. Hanya Hafi tak terlalu yakin, apakah ini wanita yang sama dengan yang pernah dia temui.

Satu hal yang pasti, dia sangat terkejut saat melihat wajah Faiza tadi siang. Selain karena cantik dan sederhana, juga karena merasa pernah jumpa. Namun, ia tak mau istrinya menduga-duga, atau bahkan Hasna sedang memancing dirinya dengan mendekatkan wanita itu padanya.

"Mas? Kok bengong?" tanya Hasna.

"Agak mules," jawab Hafi dengan terkekeh manis. "Izin dulu, ya," katanya bangkit dan berlalu k kamar mandi dekat ruang dapur dan ruang makan. Ia pun membuka ponsel, mencoba mencari sesuatu di galeri fotonya.

Bulan demi bulan dia susuri, berharap menemukan pencerahan tentang wanita yang kini ada di samping rumahnya itu.

"Orang yang sama bukan, ya?" gumamnya sambil tetap berdiri di kamar mandi. Entah untuk berapa lama, tapi dia terus mencoba mencari foto seseorang di galeri.

Ketukan di pintu kamar mandi membuat Hafi melepaskan ponsel dan terjatuh ke lantai. Beruntung, ponsel kelas elit tersebut tak mengalami kerusakan.

"Ya, Yang ...," ujar Hafi dari dalam.

"Lama banget, Mas?"

"Iya, ini udah kok." Pria itu segera membuka pintu kamar mandi dan tersenyum.

"Tumben lho lagi makan mules gitu, apa ada yang salah dengan makanannya?" tanya Hasna menatap wajah suaminya yang kikuk.

"Enggak, cuma ... salah makan tadi kali pas di kantor." Hafi tersenyum jahil. "Mau masuk ke kamar mandi juga? Dah lama nih gak main air bareng," goda Hafi membuat Hasna tersipu dan menunduk.

"Maaf, ya, Mas. Kalau aku belum bisa bikin kamu bahagia."

"Kok ngomong gitu? Maksudku kan sejak punya anak kita jarang mandi bareng," kekeh Hafi sambil merangkul istrinya. Meski pikirannya terus mengingat-ingat Faiza, wanita yang sedikit bermain dalam ingatannya.

***

Suara burung di dahan pohon rumah Hasna terdengar merdu. Menandakan pagi kembali menyapa, menjadi saksi pagi pertama Faiza di rumah barunya. Bahkan selepas shubuh, dia sudah menyiram pohon yang ada di teras dan menatap langit yang cerah dengan bintang di pagi di sana.

Fajar dan Safia terdengar merengek tidak mau ke sekolah, Faiza pun menatap kedua anak itu dari rumahnya, menaruh kagum dengan Hasna yang sudah memiliki dua orang anak dari perjalanan ibadahnya.

"Safia kenapa, Hasna?" tanya Faiza yang sudah mengenakan seragam guru hendak berangkat juga.

"Biasa, gak mau ke sekolah."

"Wajar baru lima tahun, nanti juga ada masanya dia suka sekolah." Faiza tersenyum dan menatap Safia. "Sayang, sih, Ustadzah ngajar kelas 3 bukan TKnya. Eh, tapi kita bisa berangkat bareng lho, tapi naik angkot," kekeh Faiza menatap gadis cantik yang masih memeluk kaki ibunya tersebut.

"Aku berangkat dulu, Yang," ujar Hafi keluar dari rumah, menoleh sedikit pada Faiza dan kembali menoleh pada istri dan anak-anaknya.

"Za, kamu mau berangkat juga kan? Bareng aja atuh sama Mas Hafi," ujar Hasna dengan senyuman.

"Eh, gak enak atuh. Aku naik angkot kok, deket banget kan dari sini. Lagian, takut jadi fitnah kalau berdua gitu. Kamu ini ada-ada saja." Faiza jadi salah tingkah, apalagi Hafi tetap dengan wajah juteknya.

"Iya, kamu ini apa-apaan, sih, Yang." Hafi membetulkan dasinya, memberi ruang agar napasnya tak tercekat. Padahal karena panik atas permintaan istrinya.

"Lho, kan sama anak-anak. Ya gak jadi fitnah atuh. Udah deh, biar Safia mau, Bi," pinta Hasna.

Faiza berniat pergi, tapi Hasna memaksa guru SD itu untuk menemani Safia yang akhirnya mau berangkat ke sekolah. Sementara itu, Hafi duduk di belakang kemudia, Fajar di kursi penumpang depan dan Faiza dengan Safia di belakang.

hasna hanya melambaikan tangan, menatap kepergian suami dan anak-anaknya bersama sahabata wanitanya. Disaksikan oleh tatapan para tetangga yang datang untuk mengikuti kajian di rumah Hasna.

"Bu Hasna, gak salah itu Pak Hafi disuruh pergi sama perempuan lain?"

"Ya ampun, kan cuma nemenin Safia, lagian Faiza itu sahabat lama saya. Orangnya juga alim gak neko-neko." Hasna tersenyum dan mempersilahkan ibu-ibu untuk duduk di teras yang telah dipasang karpet.

"Duh, Bu. Sekarang mah kasus pelakor banyakan dari orang terdekat. Kalau gak tetangga, teman kerja, justru sahabat sendiri. Apalagi sedang marak pelakor syari'i," cerocors salah satu teman Hasna dengan berapi-api.

"Astaghfirullah, Bu. Jangan sandingkan hal yang buruk dengan hal yang baik. Pelakor ya pelakor saja, jangan ditambahi syar'i. Tidak mungkin dua kata itu bersinergi dan menyatu. Tidak pantas juga."

"Lho, tapi itu bener. Banyak yang pura-pura syar'i dan hijrah padahal cuma mau deketin cowok-cowok kayak yang alim, dengan dalih belajar agama dan membimbing, terus nikung dan nikah di belakang, bininya menderita dan tak dapat dukungan karena katanya nikah lagi halal tanpa izin istri juga, apalagi yang ke dua juga lebih salehah. Hah, sebel saya kalau bahas begitun."

Wanita itu meninggi meski Hasna tetap tersenyum manis dan ramah.

"Iya, maksud saya jangan sandingkan itu. Mau berdandan seperti apapun, ya sudah dia itu wanita gak baik, kata syar'i-nya gak usah diajak, gitu lho, Bu. Tapi soal sahabat saya, insyaallah dia perempuan yang akan menjaga kehormatannya." Hasna pun tersenyum dan meminta mereka memulai untuk membaca doa pembuka majelis.

Di sisi lain, Faiza sangat tegang berada satu mobil dengan pria yang bukan mahramnya. Bagaimana pun, dia juga risih jika bukan karena dipaksa oleh Hasna dan anaknya, Safia. Karena itu, dia lebih banyak diam dan mendengarkan celotehan Safia serta mengajarinya berhitung saja.

"Hmm, boleh saya tanya?" ujar Hafi setelah sekian menit dia diam saja.

"Boleh, Pak ... eh Mas ... eh." Faiza kikuk sendiri, padahal dia tak pernah segugup ini bertemu dengan laki-laki.

"Apa, kita pernah bertemu sebelumnya?" tanya Hafi lagi. Tetap dengan sebuah pertanyaan.

Faiza mengangkat wajah, berpikir sejenak dan mencoba mengingat-ingat.

"Mungkinkah?" tanya Faiza ragu.

"Apa kamu dulu, murid dari Ustadz Hasan?" tanya Hafi lagi.

"Iya, lalu ...?" Faiza mencoba mengingat, menatap rambut pria yang sibuk menyetir. "Astaghfirullah ...," gumamnya pada akhirnya.

Hafi memukul stir mobilnya dan menggeleng. Tak ada obrolan dari keduanya, selain tatapan cemas Faiza dan juga gurat kecewa di wajah Hafi.

Post a Comment for "Dinikahi Suami Sahabatku #2"