Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget HTML #1

Ditalak Usai Resepsi #1

Daftar Isi [Tampil]
  
Nomela Rosana

#BAB 1

Aku Bukan Mainan

"Maafkan aku Riris, ternyata Kamu jauh dari ekspektasiku. Aku tidak bisa melanjutkan pernikahan ini. Sebaiknya kita berpisah sejak awal, aku tidak akan menyentuhmu. Ini semua kulakukan demi kebaikanmu. Agar kamu nanti bisa menikah lagi dengan laki-laki yang terbaik untukmu"

Lelaki tinggi putih berbadan tegap dengan wajah oval berhidung mancung, yang masih mengenakan jas pengantin berwarna merah marun itu berucap lirih. Dilepasnya songkok yang berwarna senada dengan balutan jasnya itu dari kepalanya, menampakkan rambutnya yang hitam berbelah tengah itu. Tangannya menggaruk-garuk rambut yang tertata rapih itu hingga menjadi acak-acakan.

"A-apa maksudmu Mas .... ?" tanyaku getir. Aku tidak percaya dengan semua yang telah Mas Reza katakan. 

Hatiku yang seperti bunga-bunga yang bermekaran saat mendengar kalimat agung yang Mas Reza ikrarkan di hadapan bapakku tadi pagi, tiba-tiba menjadi layu, bahkan kelopak bunganya telah jatuh berguguran. 

Kami bahkan belum sempat mengganti pakaian pengantin. Kenapa Mas Reza bisa setega ini kepadaku. Bukankah pernikahan itu hal yang sakral dan agung? Tidak pantas untuk dipermainkan seperti ini.

Mataku semakin mengembun, dan akhirnya embun itu meluap hingga membanjiri pipiku yang masih merah merona karena riasan make up yang belum sempat kubersihkan.

Mas Reza menghela napas panjang, wajahnya tertunduk dalam. Seolah enggan menatapku, wanita yang baru saja menjadi permaisurinya di pelaminan tadi.

"Bukankah Mas bahagia dengan pernikahan ini? Aku bisa melihatnya saat Mas menyalamiku dan mengecup keningku selepas akad tadi." cecarku, aku butuh penjelasan atas ucapan yang baru saja meluncur dari mulutnya 

"Ya, tadi memang aku bahagia saat akad pernikahan kita. Tapi itu sebelum rombongan tamu--teman pondokmu--datang. Maafkan aku yang tidak bisa memaksakan perasaanku padamu Ris. Sebelum kita terlalu jauh melangkah, Engkau aku talak sekarang!" ucapnya lirih. Nampak raut sesal di wajahnya. 

Mendengar ucapan Mas Reza, jantungku seakan berhenti berdetak, mataku membulat dengan kedua bibirku yang menganga.

Ada apa dengan teman-temanku tadi? Pantas saja setelah mereka memberi selamat kepada kami di atas pelaminan, nampak gurat kecewa di wajah Mas Reza. Dia tidak lagi tersenyum kepadaku dan para tamu hingga acara resepsi selesai.

"Mas semudah itukah engkau menalakku? Memangnya kenapa dengan teman-temanku tadi Mas? Apa salahku Mas?" Bulir bening masih terus mengucur deras dari sudut netraku.

"Mereka tidak salah. Kamu juga tidak salah, yang salah adalah Dimas--sepupumu--yang juga sahabatku. Kenapa dia tidak mengenalkanku terlebih dahulu kepada mereka? Para ustadzah yang anggun, cantik dan penuh kharisma itu."

Apa? Aku terperangah tidak percaya dengan apa yang telah disampaikan oleh Mas Reza. Tenggorokanku serasa tercekat. Wajahku terasa panas, tubuhku bergetar hebat, aku bagaikan tersengat listrik ribuan watt.

Tanpa berkata apa-apa lagi, Mas Reza langsung beranjak dari duduknya di tepi ranjang. Bergegas pergi menuju pintu kamar pengantin yang kini nampak seperti neraka bagiku, meskipun kamar ini telah dihias dengan indah. Bunga-bunga segar yang harum berwarna-warni di rangkai di tiap sudut kamarku. Bahkan kelopak-kelopak mawar merah telah di taburkan di atas ranjang, tanpa kami sempat menyentuhnya.

"Mas ... ! Tunggu ... jangan pergi Mas!" pintaku menghiba, namun teriakanku tak dihiraukannya lagi. Mas Reza tetap berlalu tanpa menoleh lagi ke belakang.

"Uhuu ... huu ... huu ... huu .... !" 

Aku hanya bisa menangis sesenggukan. Kujatuhkan tubuhku yang tiba-tiba lemas lunglai di atas karpet tebal berwarna merah. Kututup wajahku dengan kedua telapak tanganku, masih sambil tergugu hingga kedua bahuku turut berguncang.

"Mas Rezaaa ... huhuhuhu ... kenapa kamu setega ini padaku!" seruku dalam tangisanku yang terdengar semakin pilu. 

Secepat itu kau menikahiku, dan secepat itu pula kau menalakku. 

Bukankah pernikahan ini kamu yang menginginkannya? Aku bukan mainan yang dengan mudahnya kau campakkan, setelah engkau melihat mainan baru yang lebih menarik hatimu.

Masih terbayang di pelupuk mataku, saat itu kamu dan keluargamu datang ke rumah untuk melamarku. Kalian nampak sungguh-sungguh menyampaikan niat baik itu, hingga ingin pernikahan itu dipercepat jika aku bersedia menerima lamaranmu.

Kau bahkan berkata bahwa setelah melihat fotoku yang dikirimkan oleh Mas Dimas saat proses ta'aruf, engkau langsung terpesona dan tertarik padaku. 

Kau yang saat itu baru lulus S2 dari salah satu Universitas yang ada di Malaysia, tiba-tiba meminta tolong kepada Mas Dimas, untuk dicarikan calon istri yang akan mendampingimu.

Kenapa kau menerima aku sebagai calon istri yang Mas Dimas tawarkan? Kenapa juga kau dengan cepat melamar dan menikahiku? Jika akhirnya sekarang di malam pertama ini, yang seharusnya kita saling mereguk kebahagiaan, justru kau ucapkan talak padaku, bagaikan petir yang menyambarku di siang hari.

Aku masih menangis, saat ibu dan bapakku masuk ke kamarku dengan tergesa. Mungkin suara tangisanku terdengar oleh mereka yang berada di luar kamar.

"Nduk, Kamu kenapa? Kok nangis begini? Apa yang telah terjadi? Di mana suamimu?" Rentetan pertanyaan dari ibuku meluncur tanpa jeda. Nampak kecemasan di raut wajah ibuku.

Aku masih tergugu, belum bisa berkata apa-apa.

Harus kukatakan apa kepada bapak ibuku? Aku tidak ingin kejadian ini membuat hati mereka sedih dan terluka. Apalagi bapakku punya riwayat penyakit jantung. Aku tidak mau bapak terkena serangan jantung mendengar berita ini.

'Ya Allah aku harus bagaimana?' ratapku dalam hati.

Sedih banget ya, tega banget deh si Reza.

Post a Comment for "Ditalak Usai Resepsi #1"