Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget HTML #1

Kubalas Perlakuan Suamiku #1

Daftar Isi [Tampil]
 
AnnisaDarma

 #BAB 1

Tidak Adil

"Bu, enak ya, Bapak bisa makan di restoran," ujar Lala padaku.

"Lala tahu dari mana?" tanyaku penasaran.

"Dari postingan Bapak," jawab Lala jujur. 

Kemudian Lala menyodorkan ponsel dan menunjukkan status terbaru Mas Irwan. Suamiku itu memposting sepiring nasi yang dilengkapi dengan rendang, dendeng basah dan sayuran. Di mejanya juga tersedia aneka lauk pauk yang menggoda selera. Foto itu juga dilengkapi dengan ucapan selamat makan serta tag lokasi di salah satu rumah makan padang yang terkenal.

"Kalau gitu Lala nanti saja makannya, mau nunggu Bapak pulang," ujar Lala padaku. Piring yang sudah terisi didorongnya agar menjauh.

"Lho, kok gitu?" tanyaku heran.

"Siapa tahu nanti Bapak pulang bawain Lala makanan enak dari restoran. Bosen makan dadar telur dan sayur bayam terus," balas Lala menyampaikan keluhannya.
Kuhela napas dalam-dalam, lalu kulepaskan dengan pelan. Kutatap sajian yang terhidang di meja makan. Semangkuk sayur bayam dengan sepiring telur dadar yang telah dibagi empat. Sangat kontras sekali dengan apa yang diposting oleh suamiku barusan. 

Mas Irwan memang jarang makan di rumah dengan alasan masakanku tidak sesuai dengan seleranya. Padahal jika dia memberiku uang yang cukup, aku pasti menyajikan hidangan yang sama enaknya dengan sajian di restoran. Akan tetapi Mas Irwan lebih memilih untuk mementingkan perutnya sendiri tanpa harus berbagi dengan kami.

Mas Irwan hanya memberiku uang tujuh puluh ribu untuk seminggu. Artinya, anggaran biaya harianku hanya sepuluh ribu untuk satu hari. Itulah kenapa aku menyediakan menu sederhana yang penting bergizi. Sayangnya keseringan seperti ini malah membuat Lala bosan.

Padahal Mas Irwan bekerja di perusahaan bonafit dengan gaji jutaan. Tapi dia tidak mau mencukupi kebutuhan kami dengan layak. Suamiku justru memilih membiayai kedua adik perempuannya dan menyayangi keponakan daripada anak sendiri.

"Lala makan sekarang saja, ya," ucapku membujuknya. "Nanti kalau telat makan perut Lala bisa sakit."

"Nggak deh, nunggu Bapak aja," ujar Lala bersikeras.

"Kalau gitu makan dikit aja dulu, jadi pas Bapak nanti pulang Lala bisa makan lagi," lanjutku lagi.

"Lala mau makan enak seperti Bapak, Bu," sahut Lala dengan penuh harap.

"Meski cuma telur dadar dan sayur bayam tapi rasanya tetap enak, kok," ujarku membesarkan hati Lala.

Berulang kali kubujuk agar dia mau makan karena tahu bahwa Mas Irwan tidak akan pulang dengan membawa makanan enak. Setelah beberapa kali membujuk, akhirnya gadisku itu mengangguk setuju. Lalu tangannya meraih sepotong telur dadar dan meletakkan di piring. 

"Masakan Ibu paling enak di dunia!"Jempol mungilnya terangkat ke udara sebagai bentuk pujian atas masakanku.

Aku tertawa demi menutupi rasa sedih sekaligus kesal. Sedih karena harus menghemat uang agar cukup sampai minggu depan. Sekaligus kesal karena melihat sikap Mas Irwan yang sangat tidak adil. 

Kami makan seadanya di rumah, sedangkan dia berfoya-foya di luar sana.

Jika dulu uang tujuh puluh ribu cukup untuk makan selama seminggu, akan tetapi sekarang tidak lagi sama. Apalagi setelah Lala sekolah dan memiliki kebutuhan sendiri. Sayangnya Mas Irwan tidak mau tahu dan menganggap telah memberi nafkah yang cukup.

Jam sepuluh malam Mas Irwan baru pulang ke rumah. Seperti dugaanku sebelumnya, laki-laki itu tidak akan pernah membawakan makanan enak untuk anaknya. Bahkan aku yakin dia tidak pernah memikirkan kami sedetikpun.

"Mas, Lala dari tadi nungguin, lho," ujarku sambil mengikuti langkahnya ke kamar.

"Ngapain nungguin aku?" tanya Mas Irwan tanpa menoleh.

"Dia berharap dibawakan makanan enak seperti yang Mas makan tadi," jawabku.

Mas Irwan menatapku, kemudian dia berkata. "Katakan pada anakmu itu supaya jangan terlalu banyak berharap padaku. Kau juga, Rasty ... kalau mau makan enak, ya kerja sendiri dong!"

"Lala itu anak kandungmu, Mas. Tega sekali Mas ngomong begitu," desisku dengan perasaan yang sangat sakit.

Mas Irwan mencibir sinis. "Anak perempuan tidak akan berguna sama sekali, cuma jadi beban saja. Percuma kau memintaku untuk menyayangi anak itu!"

"Kalau begitu kenapa Mas malah menyayangi Gita? Padahal dia juga anak perempuan," sergahku cepat.

"Hei, Gita itu anak adikku. Itu artinya dia adalah bagian dari keluargaku!"

"Tapi Lala anak kandungmu dan aku ini istrimu. Kami juga bagian dari keluargamu, Mas ...."

Mendengar ucapanku, Mas Irwan malah tertawa ngakak. Jelas sekali dia mengejek kalimat yang kuucapkan barusan.

"Kau itu hanya orang asing yang beruntung kunikahi. Dan anak perempuan itu sama seperti dirimu yang tidak berguna sama sekali. Jadi jangan berharap bahwa aku akan menganggap kalian sebagai keluarga," ujar Mas Irwan.

"Astaghfirullah," desisku sambil mengurut dada. 

"Dengar ya, perempuan bodoh ...." Mas Irwan kemudian mendekat, lalu dia mendorong kepalaku dengan kuat. Jika aku tidak mengendalikan keseimbangan, mungkin akan terjatuh ke belakang.

 "Kau tidak perlu iri karena aku membiayai kebutuhan Ibu dan adik-adikku. Kau tidak berhak marah sedikitpun pada mereka. Bagiku, merekalah keluarga yang sesungguhnya, bukan kau atau anak itu!"

Sekali lagi, tangan Mas Irwan menoyor kepalaku hingga tersentak. 

"Kalau kau dan anak itu mau makan enak, ya kerja dong! Gunakan otakmu untuk berpikir dan mencari uang sendiri. Jangan minta-minta terus seperti pengemis!"

Kutahan sakit yang membuncah di dalam dada. Saat ini, aku berjanji untuk membuat laki-laki angkuh ini menjilat ludahnya sendiri. Saat ini Mas Irwan boleh merasa menang karena tubuhnya masih sehat dan uangnya masih banyak. Tapi suatu saat nanti, dia akan menyesal karena telah meremehkanku.

Seminggu setelahnya aku mulai bekerja di katering milik Mbak Fitri. Meski gajinya tidak terlalu besar, akan tetapi bisa memenuhi kebutuhan Lala. Beruntungnya lagi, aku boleh membawa pulang lauk atau kue yang tersisa untuk dimakan di rumah bersama Lala. Tentu saja anakku senang sekali melihat makanan enak yang kubawa.

Saat mengetahui kalau aku sudah mulai bekerja, Mas Irwan malah melepas tanggung jawabnya. Dia yang biasanya memberiku uang setiap minggu kini malah mengelak dengan alasan bahwa aku sudah memiliki gaji sendiri.

Rasanya hatiku sudah mulai kebas. Daripada banyak bicara dan bertengkar, kubiarkan saja kelakuan Mas Irwan yang semakin semena-mena. Bagiku kebutuhan Lala adalah yang nomor satu. Segala upaya akan kulakukan demi anakku. Bahkan jika harus melepaskan seluruh tulang dari tubuh ini.


Aku hanya berdoa semoga suatu saat keadaan akan berputar dan Mas Irwan menyesal karena telah menzalimi istri dan anak kandungnya sendiri.

***

Saat sedang bekerja, aku menerima telepon dari salah seorang teman kantor Mas Irwan. Perempuan itu mengabarkan bahwa Mas Irwan jatuh pingsan dan dibawa ke rumah sakit.

"Assalamualaikum, Mbak Rasty ... bisa datang ke rumah sakit Harapan Keluarga sekarang juga?" sapa Titin, salah seorang rekan kerja Mas Irwan.

"Waalaikumussalam. Ada apa ya, Tin?" tanyaku penasaran.

"Itu Mbak ... Mas Irwan jatuh pingsan saat sedang bekerja. Sekarang dia dibawa ke rumah sakit untuk diperiksa," jelas Titin padaku.

Aku mengangguk dan menyetujui sarannya agar bergegas ke rumah sakit. Perkara apa yang menyebabkan Mas Irwan sampai pingsan itu urusan nanti. Dengan menaiki ojek online, aku segera menuju rumah sakit. 

Sesampainya di rumah sakit, aku segera menemui Mas Irwan yang tergolek lemah di atas ranjang. Kemudian salah seorang dokter datang dan menjelaskan keadaan suamiku. Ternyata Mas Irwan menderita hipertensi dan juga kelebihan kolesterol. 

Penyakit ini sebenarnya sudah lama bersarang di tubuhnya, akan tetapi Mas Irwan selalu mengabaikan. Dan sekarang, itulah yang menyebabkan dia gampang lelah dan pingsan secara mendadak.

"Itu karena Irwan sering makan daging dan makanan berlemak. Apalagi kalau makannya nggak bagi-bagi," celetuk salah seorang teman kantor Mas Irwan yang membantu mengantakannya ke rumah sakit.

"Enak aja ngomong gitu, Bay. Padahal kamu yang paling sering ditraktir Irwan makan enak," sahut temannya yang lain.

Laki-laki bernama Bayu itu terkekeh geli. "Aku cuma becanda kok Wan. Cepat sembuh ya, biar kita bisa berburu kuliner enak lagi."

Ya. Mas Irwan memang terkenal dengan sifatnya yang royal dan baik hati pada orang lain. Jika ada acara makan bersama, maka dipastikan dia akan menjadi orang yang akan mengeluarkan uang paling banyak untuk mentraktir temannya. Berbanding terbalik dengan perlakuannya pada kami saat di rumah.

Setelah kedua teman Mas Irwan telah kembali ke kantor, aku juga bersiap untuk pergi. Akan tetapi Mas Irwan menahanku agar tetap menjaganya.

"Jangan pergi, Rasty. Kamu di sini saja temani aku," ujarnya dengan lemah.

Aku menggeleng tegas. "Aku harus kembali bekerja."

"Lalu siapa yang akan menjagaku di sini?" 

"Telpon Ibu atau adik-adikmu," jawabku cuek.

"Rasty!" seru Mas Irwan dengan suara serak. Matanya yang semula sayu kini tampak marah. Tapi aku sama sekali tidak takut ataupun gentar. 

"Jangan merepotkan ibuku!" lanjutnya kemudian.

"Lalu siapa yang akan direpotkan saat dirimu sedang sakit begini?" tanyaku padanya.

"Kau istriku, Rasty. Sudah menjadi tugasmu untuk merawatku disaat sakit begini," jawab Mas Irwan.

Aku tertawa dengan suara yang sedikit keras. Kugeleng-gelengkan kepala sambil menatapnya sinis. Lalu kudekati pria yang sedang terbaring lemah itu.

"Bukankah kau bilang bahwa aku bukan keluargamu? Apa kau perlu kuingatkan lagi akan kalimat itu?" tanyaku sambil sedikit membungkuk.

Deru napas Mas Irwan yang tersengal-sengal sampai ke wajahku. Laki-laki itu tampak terkejut melihat perubahan sikapku yang cukup drastis.

"Saat kau sehat, kau katakan bahwa aku ini perempuan bodoh yang tidak berguna. Setelah sakit kau memohon agar aku merawatmu. Memangnya kau tidak ingat seburuk apa perlakuanmu padaku selama ini?"

"Rasty ... jangan begini ...." ujar Mas Irwan dengan terbata-bata.

"Telpon ibumu atau adik-adikmu!" ucapku tegas. "Minta mereka untuk mengurusmu disaat sakit karena hanya mereka yang kau anggap sebagai keluargamu!"

"Rasty, please ...." ucap Mas Irwan dengan mata berkaca-kaca.

Aku melengos dengan tega. "Saat makan enak kau tidak ingat denganku. Tapi setelah sakit malah merepotkanku. Kamu yang makan nangka malah aku yang kena getahnya. Enak saja!"

"Rasty! Rasty!" panggil Mas Irwan berkali-kali.

Tidak kupedulikan teriakannya yang serak dan putus asa. Kututup pintu kamar rawat dimana Mas Irwan berada dengan tenang. 

Ah, ternyata hukum karma bekerja lebih cepat dari yang kuduga. Sekarang saatnya aku membalas perlakuan suamiku.

Post a Comment for "Kubalas Perlakuan Suamiku #1"