Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget HTML #1

Kubalas Perlakuan Suamiku #2

Daftar Isi [Tampil]
 
AnnisaDarma

 #BAB 2

Titik Lelah

"Semua ini gara-gara kamu!" teriak Mama mertuaku yang datang ke rumah secara mendadak.

"Maksud Mama apa?" balasku dengan tegas.

"Gara-gara kamu yang tidak pandai memasak Irwan jadi suka makan di luar. Makanya kolesterolnya tinggi dan sekarang dia tumbang. Coba kalau kamu becus jadi istri dan menyediakan makanan sehat, pasti anakku tidak akan sakit begini!" seru Mama sambil menunjuk-nunjuk wajahku.

"Lah, Mama kenapa malah nyalahin aku?" tanyaku pura-pura heran. "Padahal Mas Irwan sengaja tidak memberiku uang yang cukup untuk belanja harian. Dia sendiri yang memilih makan di warung daripada di rumah. Saat dia jatuh sakit, kenapa Mama malah menuduhku sebagai penyebabnya?"

"Jelas saja semua ini salahmu!" seru Mama mertua dengan wajah mulai memerah. "Aku tahu kalau Irwan selalu memberimu uang untuk masak, tapi kau yang tidak pandai mengatur keuangan!'

"Iya, dia memang memberiku uang," ujarku membenarkan. "Tapi hanya sepuluh ribu sehari, tidak kurang dan tidak ada lebihnya!"

"Sepuluh ribu sehari itu sudah cukup, Rasty! Kau saja yang tidak pandai bersyukur!" 

"Aku bersyukur kok," balasku dengan nada yang masih santai. "Tapi Mas Irwan yang tidak tahan dengan menu yang didapatkan dari uang sepuluh ribu itu. Makanya dia pergi ke restoran untuk memuaskan seleranya sendiri."

"Pokoknya kau harus bertanggung jawab karena telah membuat anakku sakit!" seru mertuaku dengan nada tinggi.

Napas perempuan itu tersengal-sengal dengan dada naik turun. Dia tampak marah dan jengkel melihat sikapku yang tenang dan tidak terpengaruh oleh tekanan yang diberikannya.

"Sekarang saat Irwan jatuh sakit kau malah mengabaikannya. Kau biarkan dia sendirian di rumah sakit tanpa ada yang menemani. Istri macam apa kamu, hah?"

"Aku kerja, Ma. Lagian Mas Irwan masih punya Mama dan adik-adiknya untuk menemani di rumah sakit," jawabku kemudian.

"Diluar sana banyak perempuan yang bekerja dengan pangkat dan jabatan tinggi. Tapi kewajibannya sebagai istri dalam mengurus suami tetap dijalankan. Sedangkan kau baru bekerja sebagai tukang masak saja sudah berani meninggalkan suamimu sendirian. Benar-benar minta dilaknat!" tukas Mama kemudian.

"Sudahlah, daripada Mama marah-marah begini mending tunggui Mas Irwan di rumah sakit. Siapa tahu dia mau pipis tapi tidak ada yang membantu memegangi selang infusnya," ujarku sambil mengibaskan tangan dengan samar.

"Itu tugasmu sebagai istri!" ketus mertuaku.

"Lalu tugas Mama dan adik-adik Mas Irwan ngapain?" tanyaku dengan nada sedikit sinis. "Menghabiskan uang gajinya setiap bulan, begitu?"

"Heh perempuan udik! Irwan itu anakku, jadi wajar kalau dia memberiku uang setiap bulan! Kau sama sekali tidak berhak untuk marah!"

"Kalau begitu saat Mas Irwan sakit seharusnya kalian yang paling pantas merawatnya! Jangan malah mengandalkan aku yang udik ini!" jawabku dengan tegas.

Mama mertuaku menahan rahangnya kuat-kuat sambil menatapku tajam. "Sejak kapan kau jadi pembangkan begini, Rasty?" tanyanya geram.

"Sejak Mas Irwan mengatakan bahwa aku dan Lala bukanlah keluarganya," jawabku tenang.

"Jangan mengada-ngada terus mulutmu itu!" bentak Mama kesal. 

"Kalau tidak percaya tanya sendiri pada anakmu itu," balasku cuek.

"Kau sudah berani kurang ajar, ya ...." sahut Mama dengan sangat geram.

"Ya berani, dong. Seharusnya sejak dulu aku mengeluarkan keberanian seperti ini biar tidak terlalu lama kalian injak-injak," balasku dengan tenang.

Plak!

Tanpa kuduga, Mama maju dan melayangkan tamparan di pipiku. Rasa perih dan panas langsung menjalar ke dalam lubuk hati. Aku menatap Mama dengan pandangan nanar sembari mengelus pipi.

"Dasar menantu kurang ajar! Kau pikir dirimu siapa, hah? Berani sekali melawanku!" hardik Mama dengan kemarahan yang meluap-luap.

"Ingat Rasty, kau hanyalah anak orang miskin yang dipungut oleh Irwan dan dijadikan istri. Seharusnya kau beryukur anakku membawamu tinggal di sini. Kalau tidak, mungkin kau sudah jadi pelac*r mengikuti jejak Ibumu!"

Sikap Mama memantik api kemarahan yang selama ini kusimpan rapat-rapat. Terlebih lagi dia mengungkit-ungkit tentang Ibu yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan semua ini.

Aku mendekati Mama, lalu menatap kedua matanya dengan berani. Karena tubuhku lebih tinggi, maka aku harus membungkuk agar bisa berhadapan sepenuhnya.

"Apa yang harus kusyukuri dari pernikahan neraka ini?" tanyaku sambil menatap mata Mama dengan lekat. Kucengkram bahunya dengan kuat sambil mengguncang tubuh yang mulai beranjak rapuh itu. 

"Jawab aku! Apa yang harus kusyukuri saat hidup dengan laki-laki zalim yang tidak tahu bagaimana menjalankan kewajibannya?! Apa Mama pikir aku beruntung berada di tengah-tengah manusia culas seperti kalian?!" 

Mama melepaskan tanganku dengan kasar. Dia mundur beberapa langkah dan melayangkan tatapan tak ingin disalahkan.

"Setidaknya kau bisa hidup enak dan nyaman saat bersama anakku!" balas Mama dengan tegas.

Aku menengadah sejenak, lalu tertawa kecil dengan nada yang sumbang dan penuh dengan rasa miris.

"Enak dan nyaman katamu?" Aku bertanya dengan nada sinis yang tak mampu kutahan. 

"Semenjak menikah dengan anakmu aku bahkan lupa bagaimana rasanya hidup enak. Aku hanya dijadikan sebagai pelampiasan nafsu dan pelayan untuk mengurus kebutuhannya. Semua jerih payah dan rasa sakitku tidak pernah dihargai sama sekali. Bahkan Mas Irwan tega memberiku uang sepuluh ribu sehari untuk makan berdua dengan anaknya!"

"Hanya itu harga yang pantas untukmu!" teriak Mama dengan keras. "Masih untung anakku mau memberimu uang, kalau tidak kau sudah jadi gembel di jalanan!"

"Sepertinya jadi gembel jauh lebih baik daripada hidup terkekang dan selalu menderita!" balasku dengan sengit.

Mama kembali maju dan melayangkan pukulan, kali ini dia menyasar kepalaku. Dengan cepat aku mengelak sehingga pukulannya mendarat di bahu. Walau sudah tua tapi pukulan Mama masih kuat dan menyakitkan.

Selalu begini. 

Setiap kali Mama marah dia akan memukuliku tanpa kasihan. Dulu aku akan pasrah karena tidak memiliki kekuatan untuk melawan. Jiwaku masih rapuh dan ketakutan itu masih terlalu besar. Tapi sekarang aku telah sampai di ujung lelah yang memaksa untuk menyerah. Tidak ada surga dalam pernikahan penuh kezaliman seperti ini.

"Berhenti memukuliku atau aku akan mengadukan Mama ke polisi!" teriakku sambil menghindar dan melindungi tubuh.

"Kau memang pantas dihajar agar tidak ngelunjak!" seru Mama sambil terus melancarkan serangan. "Coba saja kau lapor ke polisi, maka aku akan membuatmu mati di tanganku!"

Sembilan tahun berumah tangga dengan Mas Irwan, selama itu pula Mama dan keluarganya bersikap semena-mena terhadapku. Batinku menangis pilu memandang nasib yang tidak beruntung ini. Ancaman demi ancaman telah membuatku takut dan lemah.

"Sepertinya kepalamu harus kupukul lebih keras agar segera sadar. Sebagai istri seharusnya kau patuh dan tunduk pada suamimu, bukannya malah membangkang seperti ini!" ujar Mama sambil terus menyerangku. 

Mati-matian aku mengelak agar pukulannya tidak mendarat di tubuh ini. Sayangnya semakin aku mengelak, Mama malah bertambah membabi buta. Akhirnya dengan susah payah aku mendorong tubuh Mama agar terlepas dari siksaannya.

Akan tetapi karena doronganku terlalu kuat, Mama malah terhuyung ke belakang dan terjerembab ke lantai. Perempuan tua itu mengaduh kesakitan dengan suara mengiba.

"Kau benar-benar membuatku muak!" seruku dengan suara bergetar menahan marah. "Orang tua sepertimu juga harus dilawan agar tidak terus semena-mena. Mentang-mentang aku diam kau malah semakin kurang ajar!"

"Lihat saja nanti kalau Irwan sudah sembuh, aku akan menyuruhnya menghajarmu sampai mati!" teriak Mama dengan mata penuh amarah.

"Bagaimana kalau aku yang terlebih dahulu mengirimmu ke neraka? Biar kau tidak bisa mengadu dan menghasut anakmu agar berbuat zalim kepadaku!"

Kuambil vas keramik yang terletak di dekat lemari hias. Lalu kulemparkan benda itu tepat ke samping Mama hingga pecah berderai. Mama beringsut ketakutan, wajahnya mendadak pucat pasi.

"Rasty ... aku ini orang tua! Kau akan berdosa karena durhaka padaku," tukas Mama dengan suara bergetar.

"Membunuh orang zalim tidak akan berdosa!" teriakku sambil mendekatinya. 

"Aku ini ibu Irwan dan kau harus menghormatiku layaknya ibu kandungmu!" tambah Mama sambil terus mundur karena ketakutan.

"Aku tidak peduli!" teriakku kalap. "Selama ini kau selalu memukuliku, kau selalu menghasut Mas Irwan agar bersikap zalim padaku. Neraka dalam pernikahanku ini bermula darimu, dan kamu adalah biang kerok dari segala rasa sakitku! Kau tidak pantas mendapat rasa hormatku!"

"Rasty ... sadarlah! Ucapkan Istighfar!" seru Mama dengan panik.

Aku benar-benar telah sampai pada titik muak yang tak tertahankan lagi. Seandainya Mama tidak terlalu ikut campur dalam urusan rumah tanggaku, mungkin hidup yang kujalani tidak akan sesakit ini. Jika Mama tidak menghasut Mas Irwan agar mengabaikanku, mungkin pernikahan ini tidak akan menjadi neraka. 

Sekarang saat Mas Irwan sakit karena ulahnya sendiri, Mama malah berbalik menyalahkanku. Seolah di matanya aku adalah penampung dosa dan orang yang pantas untuk dijadikan tumbal atas keegoisannya. 

"Rasty! Kau menakutkan sekali," gumam Mama dengan mata membelalak lebar. "Kumohon jangan sakiti aku!"

"Aku tidak menyakitimu, Mama mertua. Aku hanya membalas perlakuanmu padaku. Kau harus merasakan bagaimana menjalani hidup dalam rasa sakit seperti yang kualami selama ini!"

Post a Comment for "Kubalas Perlakuan Suamiku #2"