Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget HTML #1

Saat Istriku Tak Lagi Meminta Uang #2

Daftar Isi [Tampil]
 


 #BAB 2

Istriku Seperti Patung

Sepulang kantor aku gegas mencari di mana istriku. Namun, Ayu tak nampak di hadapanku. Kemana dia dan anak-anak?

Aku mengusap wajah kasar. Aku langsung menghampiri Ayu saat kulihat dia memasuki halaman rumah. Polesan make up masih terlihat jelas. Apalagi lipstik pink yang membuat ia semakin cantik. Hendak marah, aku menjadi lunak melihat kecantikan istriku.

"Kami dari mana, jam segini baru pulang?"

"Bukannya aku tadi pamit mau ke rumah ibuku? Lagi pula, ini baru jam 15.00. Tumben kamu sudah pulang?" Kesal dibuatnya, bukan menjawab pertanyaanku, dia malah bertanya balik. 

Memang aku pulang lebih cepat karena ucapan Arman sangat menggangguku. Apa benar istriku ini memiliki pria idaman lain? 

Apa kurangku selama ini? Kunafkahi dia, lalu apa yang sedang dia sembunyikan dariku?

"Aku bawa makanan, tadi ketemu Mas Arfan di rumah ibu. Dia membelikan anak-anak makan, sekalian aku minta buat kamu. Kutaruh di meja makan, aku mau menggantikan anak-anak baju."

Lagi, Ayu melewatiku begitu saja. Ia merangkul kedua anakku. Perut terasa lapar, sepertinya kuhentikan saja emosi yang memuncak ini. Besok akan kucari tahu lagi atau kupasang CCTV saja.

***

Tidak ada gelagat aneh dari Ayu. Ia hanya bermain ponsel sebentar, lalu mengajari anak-anak belajar. Setelah itu, ia bangkit dan mengambil nasi untuk ia makan.

Aku membuang wajah saat ia menoleh ke arahku.

"Aku makan dulu, kamu masih mau makan apa nggak?" tanyanya seperti biasa.

"Aku sudah makan, buat kamu saja." Aku kembali fokus pada anak-anak yang sejak tadi mengajakku bermain.

Tanpa menjawab ucapanku, ia langsung melahap makanannya. Aku terus memperhatikannya, tidak mungkin kecantikannya alami. Pasti Ayu perawatan, tapi dari mana uangnya?

Ponselku bergetar, aku mengambil di meja. Ternyata adikku menelepon. 

"Iya, Sih, ada apa?" Sambil melirik ke arah Ayu, aku menjawab telepon dari Asih. Kenapa Ayu biasa saja? Biasanya ia langsung merengut saat menerima telepon dari ibu atau Asih. Apalagi dari Mba Laras--Kakak Perempuanku.

"Mas, aku butuh uang semester. Kemarin aku mengulang satu mata kuliah, jadi harus ikut semester pendek." Aku mengehela napas saat mendengar apa yang diminta Asih.

"Berapa?" tanyaku cepat.

"Dua juta rupiah, Mas." Terdengar suara Asih pelan, mungkin ia takut tidak enak sama aku.

"Nanti Mas tranfser."

"Makasi Mas."

Setelah menutup ponsel, aku menaruh kembali di meja. Kuhampiri Ayu yang sedang mencuci piring.

"Ma, Asih meminta uang untuk semester pendek."

"Hmm."

Dia hanya menjawab seperti itu. Setelah itu, ia kembali mencuci piring lagi.

"Kok kamu cuma jawab, Hmm ... aja?"

Ayu mengembuskan napas kasar. 

"Aku harus bagaimana? Harus jawab apa? Toh, semua keputusan ada ditangan kamu. Kamu yang mencari uang dan kamu pun wajib menghidupi keluarga kamu. Apalagi, pendidikan adikmu. Apa masih bisa aku berkomentar?"

Panjang sekali jawabannya. Aku sampai sesak mendengarnya. Sejak kapan Ayu seperti itu? Sangat tegas dan membuat aku seperti tidak bisa menjawab apa yang dikatakannya.

"Ya, sudah. Jangan diperpanjang." 

Sepertinya memang ada sesuatu pada diri Ayu. Sikapnya seperti acuh pada keluargaku, tapi kenapa?

***

Mengobrol dengan Pak Endang membosankan. Isinya ceramah saja, apalagi kalau sudah mengatakan suami itu harus mendahulukan istri. Apa dia lupa terlahir dari siapa?

Ibu itu lebih penting. Dia yang melahirkan dan membesarkan kita. Sejak Bapak meninggal, ibu bating tulang untuk menghidupi anak-anaknya.

"Astagfirullah, kamu bikin kaget Mas saja," ujarku saat masuk ke kamar melihat Ayu memakai masker wajah.

Ayu duduk sambil memainkan ponselnya. Sesekali dia terlihat tertawa, tanpa sadar kalau aku sedang memperhatikannya. Aku ingin tahu, dia sedang apa di ponselnya.

"Kamu WA siapa?" tanyaku.

"Nih." Ayu menyodorkan ponsel miliknya. Kulihat video anak dari Mas Arfan--kakaknya.

Pantas saja dia tertawa, keponakannya itu bergaya banyak membuat yang melihat tertawa. Kembali aku memberikan ponselnya.

Aku tak tahan seperti ini. Kenapa seperti bersama wanita kulkas? Dingin dan entah aku merasa hambar.

"Kamu kenapa, sih, aku tanya jawab hanya sekadarnya saja. Mas kaya nikah sama patung, tahu nggak."

"Aku harus seperti apa? Bukannya Mas yang menjadikan aku seperti patung? Harus menuruti apa yang tidak aku inginkan? Aku hanya mengikuti mau kamu, diam dan hanya menurut saja. Apa salah?"

Astaga, kepalaku bisa sakit jika dia terus saja memojokkan aku. Apa salah aku selama ini?

Post a Comment for "Saat Istriku Tak Lagi Meminta Uang #2"