Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget HTML #1

Wanita Pertama Suamiku #2

Daftar Isi [Tampil]
 
Ana_Yuliana

#Bab 2

 Cinta

Alfi adalah cinta pertama yang sekaligus ia harap sebagai cinta terakhir. Ia lah yang memberi rasa bernama rindu, selalu hadir dikala ia pilu namun tak pernah sekalipun membumbui cinta mereka dengan cemburu. 
Alfi menjaganya, rasa hati dan harga diri Maila sebagai seorang istri. Sejak awal kenal sebagai teman biasa hingga kini menjadi teman hidup, lakunya selalu menenangkan. Ia lah belahan jiwa Maila yang sakitnya pun menjadi sakitnya juga. 

"Bila suatu saat, Mas ingin memaduku, katakan dulu, mintalah izinku, insyaAllah aku akan mempertimbangkan," ucap Maila suatu ketika. Ia sadar, pernikahan mereka telah melalui puluhan purnama namun kehadiran buah hati tak kunjung tiba. 

"Kenapa? Kamu sudah bosan hidup berdua dengan suamimu ini?" Alfi merangkul istrinya dan mengecup pipinya. 

Maila menggeleng. "Aku mencintaimu, tapi aku takut kamu tak bahagia. Kita belum memiliki keturunan." Ada mendung menggelayut di wajah pucat Maila. 

"Bukankah selalu kukatakan bila pernikahan ini adalah antara aku dan kamu. Cukup kamu saja seumur hidupku." Alfi mempererat pelukannya. 

"Anak?" tanya Maila lagi. 

"Bila Allah berkenan memberikan kita keturunan maka itu sebuah nikmat yang harus disyukuri, namun bila ia menitipkan amanah itu melalui anak-anak yatim dari keluarga yang kurang mampu maka itu pun akan kusyukuri." Alfi membelai Maila istrinya. Sejauh ini mereka telah memberikan beasiswa penuh pada beberapa anak yatim. 

"Apa, Mas tak menginginkan anak kandung?" 

Alfi tersenyum, "ingin, Sayang, tapi yang kuinginkan belum tentu yang terbaik untuk kita. Allah lebih mengetahui yang terbaik bagi hamba-hamba-Nya." 

Semua perkataan Alfi masih selalu terngiang di telinganya, ia yakin Alfi adalah suami yang setia. Tak ada riak dalam pernikahan mereka, semua berjalan lancar tanpa pertikaian. Alfi adalah laki-laki penyayang yang bijakasana sangat serasi dengan Maila yang perasa dan apa adanya. 

Lalu, apakah kini suaminya menyerah? Adakah wanita lain yang telah mengisi hati suaminya itu. Bukankah setiap manusia selalu memiliki titik jenuh, mungkinkah inilah saatnya?

"Bu, Maila ingin cerita." Maila menelpon ibu tirinya, ia butuh teman untuk bertukar pikiran. 

"Ceritakanlah, Nak, jangan ragu, ibu akan mendengarkan." 

Maila menarik napas panjang, berat sesungguhnya menceritakan masalah keluarganya, tapi apa boleh buat. Ia butuh saran. "Aku menemukan chat Mas Alfi dengan wanita yang sepertinya mantannya. Kelihatannya wanita itu mengharapkan Mas Alfi kembali padanya,ia pun menyinggung soal keadaan kami yang belum memiliki keturunan." 

"Apa balasan suamimu, Nak?" 

"Dia belum membalas, Bu, ponselnya ketinggalan dan Mas Alfi belum pulang kerja." 

"Jangan dipendam, ungkapkan kegelisahanmu pada Alfi. Retaknya rumah tangga sebagian besar karena kurangnya komunikasi, jadi bangunlah hubungan yang baik dengan suamimu, Nak." 

"Bagaimana bila ternyata itu benar, Bu, Maila gak siap." Maila mulai terisak. Seumur hidup ia selalu diajarkan untuk tegar dalam menghadapi ejekan ataupun musibah namun tidak dalam perselingkuhan. Hal ini tak pernah terbayang sebelumnya. 

"Nak, semua yang ada di dunia ini titipan termasuk suami, anak, harta, kesehatan dan semua yang melekat di diri kita. Kamu harus siap." 

"Tapi, Maila gak tahu bakal kuat atau enggak."

 
"Semakin dipendam maka prasangkamu itu malah akan semakin menyiksa. Hadapilah, Nak, bicarakan baik-baik. Ingat Allah, semua yang terjadi di dunia sudah digariskan oleh yang Kuasa." 

Hening. 

"Nak?" 

"Iya, Bu."

"Pertemuan dan perpisahan itu sudah ada jalannya. Kamu dan Alfi adalah orang baik, insyaAllah rumah tangga kalian akan baik-baik saja." 

Maila tersenyum dan mengucapkan syukur berulang kali. Beruntung ia memiliki seorang ibu tiri yang selalu dapat dijadikan tempat bersandar. 

"Terima kasih, Bu." 

Benar apa yang ibunya katakan, semua yang melekat adalah titipan, Allah lah pemilik segalanya, ia yakin semua yang terjadi adalah yang paling baik untuknya. Ia akan berbicara dengan suaminya. Ia mencintai Alfi sejak dulu, kini dan InsyaAllah sampai nanti karena Allah.
 
***

Sudah pukul dua siang dan Alfi masih di kantor. Ia duduk di teras sekolah, beberapa siswa tengah mengikuti kegiatan ekstrakurikuler Pramuka. Seharusnya ia sudah pulang, namun pikirannya kacau. Jasmine datang, ia membawa masa lalu indah yang sekaligus penuh dosa. 

Ia sangat mencintai istrinya Maila, dia lah yang mengajarkannya untuk selalu menjalani hidup apa adanya. Bila istrinya mau, ia bisa hidup bergelimang harta, namun ia tetap memilih sederhana, itulah uniknya Maila. 

"Harta itu ujian, Mas, ibarat bara panas yang setiap saat dapat membakar kita. Aku takut, semakin banyak harta yang kita punya semakin berat pula pertanggungjawabannya di akherat kelak," ucap Maila. 

Bila Maila adalah sosok yang apa adanya, Jasmine adalah sosok ambisius yang penuh dengan cita-cita. Hidup adalah perjuangan baginya, sedetik pun waktu tak boleh disia-siakan. Ia mengenal Jasmine sejak SMA, saat yang sama pula cinta itu mulai tumbuh pada gadis kuat itu. 

"Wanita itu harus kuat, Fi, gak boleh cengeng. Jangan mau dibodoh-bodohin cowok." Jasmine menatap langit dan tersenyum. 

Alfi menghela napas, ia mendengar kejadian semalam. Rumah Jasmine bersebelahan dengan rumahnya, semua yang terjadi dapat ia dengar. 

Ia sudah terbiasa dengan suara gaduh atau teriakan histeris dari rumah itu. Dalam satu Minggu, selalu ada satu hari dimana kedua orang tua Jasmine bertengkar hebat. Akan terdengar suara benda yang dibanting, makian yang tak henti dan biasanya berakhir dengan isak tangis hingga pagi menjelang. Awalnya kedua orang tua Alfi ikut melerai, Pak RT pun ikut campur, namun lama-kelamaan semua bosan. Lelah dengan kejadian yang terus berulang tanpa ada penyelesaian. 

"Ayah menampar ibu dan ibu membalas dengan melempar vas bunga ke wajah ayah. Ada darah dimana-mana." Jasmine menjelaskan tanpa diminta. 

Alfi hanya mendengarkan seperti biasa. Jasmine tak butuh solusi karena ia hanya butuh didengarkan. 

"Setelahnya mereka saling maki, semua nama hewan disebutkan dan ayah pergi lagi tentunya setelah menghempaskan semua barang di rumah." Jasmine menghela napas. 

"Bagaimana adikmu?" tanya Alfi. 

"Sama seperti biasanya, kami menangis sambil berpelukan. Mawar tak lagi secengeng dulu namun tetap saja hatinya tak sekuat baja. Lagipula siapa yang tahan hidup di tengah neraka." 

Alfi ingin rasanya memeluk sahabatnya ini andai saja diperbolehkan. Tak mudah hidup bagi Jasmine, kedua orang tuanya memelihara pertengkaran selama bertahun-tahun tanpa sekalipun memikirkan perasaan buah hatinya. Mawar adik Jasmine bahkan masih duduk di sekolah dasar dan harus ikut merasakan ini semua. 

"Tadi aku bilang ibu soal perceraian, dan dia malah memakiku lagi. Ibu tak mau bercerai dengan ayah walau sudah jelas ayah berselingkuh dan tak mencintainya lagi." Jasmine mengusap sudut netranya. 

"Ibumu sangat mencintai ayahmu," ucap Alfi. 

"Tidak, dia hanya wanita bodoh yang takut hidup sengsara. Dia takut bila bercerai maka hidupnya akan sengsara, ibu terlalu mengandalkan ATM gaji ayah. Padahal ia tak tahu bagiku dan mawar lebih baik miskin daripada harus merasakan neraka setiap hari." 

Alfi mengambil kotak makannya dan menyerahkan pada Jasmine, ia tahu pastilah temannya ini belum makan. 

"Aku tak lapar." Jasmine menolak. Ia selalu seperti itu, tak mau terlihat lemah. 

"Aku akan marah bila kau tak makan ini," ucap Alfi. 

Jasmine mengambil kotak makan itu, membukanya dan menelan ludah. Roti tawar dengan isian coklat dan keju, santapan mewah baginya. Selanjutnya tak ada lagi percakapan, Jasmine sibuk dengan tiga lembar roti tawar yang dengan lahap disantap. Alfi menikmati setiap saat ketika Jasmine memakannya. Ia suka bila wanita disampingnya ini bahagia. 
Alfi ingin memberi semangat, nasehat, atau apapun, namun bingung, kata apa yang tepat bagi sahabatnya ini. Ia terlalu kuat, bahkan Alfi pun tak yakin bisa bertahan bila berada di posisi Jasmine. 

Hampir setiap hari ia menyaksikan perjuangan Jasmine. Ia yang tak pernah terlihat sedih dan selalu optimis di sekolah. Tak ada yang tahu betapa berat hidup Jasmine kecuali dirinya dan Alfi merasa istimewa. 

"Aku yakin akan lulus masuk universitas negeri," ucap Jasmine optimis. Bukan hanya ia, Alfi pun yakin wanita itu akan berhasil. Ia juara umum di sekolah dengan deretan prestasi lainnya. 

Terlalu banyak kenangan antara ia dan Jasmine, tiga tahun menjadi tetangga dan berakhir menjadi hubungan cinta tanpa komitmen. Ia menyukai semua yang ada dalam dirinya, dan dahulu berkali-kali ia berjanji akan membahagiakan wanita itu. Cinta pertamanya, Jasmine.

***

Sudah pukul empat sore, biasanya Alfi tak pernah pulang selambat ini. Apakah suaminya dan wanita itu bertemu dan mengulang kisah masa lalunya? Begitu banyak pikiran jahat yang menari di otaknya. Ia harus bicara dengan suaminya, tak boleh ada kesalahpahaman, sejauh ini Alfi adalah suami yang baik. Ia yakin itu. 

"Assalamu'alaikum." 

"Walaikumsalam." Maila segera membuka pintu. Benar dugaannya, Alfi. 
Maila mencium punggung tangan suaminya.

 Alfi tersenyum dan mencium kening istrinya. 
"Apa kau mau bicara?" tanya Alfi. Ia tahu pastilah istrinya telah membaca pesan-pesan Jasmine di ponselnya. 

"Sudah sholat Ashar?" tanya Maila. 

Alfi menggeleng. 

"Mandi, sholat dan makan dulu. Aku masak sayur lodeh kesukaanmu." Maila tersenyum. 
Alfi mengusap sudut netranya. Mengapa begini? Bukankah seharusnya Maila marah dan mempertanyakan soal hubungannya dengan Jasmine? Kenapa masa lalunya harus menyakiti wanita sebaik ini? Kenapa Jasmine harus datang di saat ia telah berdamai dengan kesalahan masa lalunya?

Alfi memperpanjang zikir dan doanya. Biasanya ia selalu terburu melaksanakan kewajibannya, namun tidak kali ini. Begitu panjang keluh kesah yang ia sampaikan pada Sang Pemilik Hidup. Rasanya, malu, tak sepantasnya ia hanya datang ketika hati gundah dan abai saja pada-Nya ketika hidup baik-baik saja. 

Tak akan ada yang ingin ia sembunyikan dengan Maila lagi. Ia akan bercerita, soal Jasmine, wanita pertamanya yang sempat mengalihkan dunia serta melunturkan imannya. 

Istrinya berhak tahu soal pada siapa hatinya dahulu pernah berlabuh. Akan pahit, namun lebih baik dari lisannya lah kebenaran itu terungkap. 

"Dan milik Allah lah seluruh rahasia langit dan bumi, dan kepada-Nya segala urusan dikembalikan. Maka sembahlah Dia dan bertawakkallah kepada-Nya. Dan Tuhanmu tidak pernah lengah dari apa yang kamu kerjakan." – (Q.S Hud: 123)

Bersambung . . .

Post a Comment for "Wanita Pertama Suamiku #2"